Sabtu, 21 Desember 2013

TOF (Tetralogi Of Fallot)

Tetralogy Of Fallot

A. Pengertian Tetralogy of Fallot

Tetralogy of Fallot (TOF) adalah kelainan jantung kongenital dengan gangguan sianosis yang ditandai dengan kombinasi empat hal yang abnormal meliputi Defek Septum Ventrikel (VSD), Stenosis Pulmonal (PS), Overriding Aorta, dan Hipertrofi Ventrikel Kanan (Sastroasmoro, 2002).
TOF merupakan defek jantung yang terjadi secara kongenital dimana secara khusus mempunyai empat kelainan anatomi pada jantungnya. TOF ini adalah penyebab tersering pada Cyanotic Heart Defect dan juga pada Blue Baby Syndrome (www.emedicine.medscape.com).
TOF pertama kali dideskripsikan oleh Niels Stensen pada tahun 1672. Tetapi, pada tahun 1888 seorang dokter dari Perancis Etienne Fallot menerangkan secara mendetail keempat kelainan anatomi yang timbul pada TOF (www. emedicine.medscape.com).
TOF merupakan penyakit jantung bawaan biru (sianotik) yang terdiri dari empat kelainan yaitu:
  1. Ventricular septal defect (VSD), yaitu adanya lubang pada sekat antara kedua rongga ventrikel di bagian infundibulum septum intraventrikular dengan syarat defek tersebut paling sedikit sama besar dengan lubang aorta. Dalam beberapa kasus, penebalan septum dapat menyebabkan penyempitan defek.
  2. Pulmonal stenosis (PS), terjadi karena penyempitan katup pembuluh darah yang keluar dari ventrikel kanan menuju paru-paru, bagian otot di bawah katup juga menebal dan menimbulkan penyempitan. PS sering disebabkan karena pertumbuhan yang berlebihan dari dinding otot jantung (hipertropi septoparietal trabekula).
  3. Overriding aorta, dimana pembuluh darah utama yang keluar dari ventrikel kiri melewati septum ventrikel sehingga seolah-olah sebagian aorta keluar dari ventrikel. Tingkat keparahan dari overriding aorta ini bervariasi, 5-95% ventrikel kanan terhubung ke katup aorta.
  4. Right ventricular hypertrophy (RVH), yaitu penebalan otot ventrikel kanan karena peningkatan tekanan di ventrikel kanan akibat dari stenosis pulmonal. Penebalan dinding ventrikel kanan dapat menyebabkan peningkatan obstruksi di RVOT (Right Ventricular Outflow Tract).

    Komponen yang paling penting dalam menentukan derajat beratnya penyakit adalah stenosis pulmonal dari sangat ringan sampai berat.

B. Etiologi

Pada sebagian kasus, penyebab penyakit jantung bawaan tidak diketahui secara pasti, akan tetapi diduga karena adanya faktor endogen dan eksogen. Faktor-faktor tersebut antara lain:
a. Faktor endogen:
1) Berbagai jenis penyakit genetik: kelainan kromosom 22 delesi dan DiGeorge Syndrome
2) Anak yang lahir sebelumnya menderita penyakit jantung bawaan
3) Adanya penyakit tertentu dalam keluarga seperti diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung atau kelainan bawaan
b. Faktor eksogen:
1) Riwayat kehamilan ibu: sebelumnya ikut program KB oral atau suntik, minum obat-obatan tanpa resep dokter (thalidomide, dextroamphetamine, aminopterin, amethopterin, jamu)
2) Selama hamil ibu menderita rubella (campak Jerman)
3) Pajanan terhadap sinar-X
4) Gizi yang buruk selama hamil
5) Ibu yang alkoholik
6) Usia ibu di atas 40 tahun
(Sumber: Ilmu Kesehatan Anak, 2001)
Para ahli berpendapat bahwa penyebab endogen dan eksogen tersebut jarang terpisah menyebabkan penyakit jantung bawaan. Diperkirakan lebih dari 90% kasus penyebab adalah multifaktor. Apapun sebabnya, pajanan terhadap faktor penyebab terjadi sebelum akhir bulan kedua kehamilan karena pembentukan jantung janin sudah selesai pada minggu kedelapan kehamilan.
TOF lebih sering ditemukan pada anak-anak yang menderita Sindroma Down. TOF dimasukkan ke dalam kelainan jantung sianotik karena terjadi pemompaan darah yang sedikit mengandung oksigen ke seluruh tubuh, sehingga terjadi sianosis (kulit berwarna ungu kebiruan) dan sesak napas. Mungkin gejala sianotik baru timbul di kemudian hari, dimana bayi mengalami serangan sianotik saat bayi sedang menyusu atau menangis.

C. Manifestasi Klinik

Gejala bisa berupa:
a. Sianosis terutama pada bibir dan kuku.
b. Bayi mengalami kesulitan untuk menyusu.
c. Setelah melakukan aktivitas, anak selalu jongkok (squating) untuk mengurangi hipoksi dengan knee chest position.
d. Jari tangan clubbing (seperti tabuh genderang)
e. Pertumbuhan dan perkembangan anak berlangsung lambat. Gangguan pada pertambahan tinggi badan terutama pada anak, keadaan gizi kurang dari kebutuhan normal, pertumbuhan otot-otot dari jaringan subkutan terlihat kendur dan lunak, masa pubertas terlambat.
f. Sesak napas jika melakukan aktivitas, kadang disertai kejang atau pingsan dan setelah melakukan aktivitas, anak selalu jongkok.
g. Berat badan bayi tidak bertambah.
h. Pada auskultasi terdengar bunyi murmur pada batas kiri sternum tengah sampai bawah.
(Buku ajar Keperawatan Kardiovaskuler, 2001)

D. Patofisiologi

Proses pembentukan jantung pada janin mulai terjadi pada hari ke-18 usia kehamilan. Pada minggu ke-3, jantung hanya berbentuk tabung yang disebut fase tubing. Mulai akhir minggu ke-3 sampai minggu ke-4 usia kehamilan, terjadi fase looping dan septasi, yaitu fase dimana terjadi proses pembentukan dan penyekatan ruang-ruang jantung serta pemisahan antara aorta dan arteri pulmonalis. Pada minggu ke-5 sampai ke-8 pembagian dan penyekatan hampir sempurna. Akan tetapi, proses pembentukan dan perkembangan jantung dapat terganggu jika selama masa kehamilan terdapat faktor-faktor risiko.
Kesalahan dalam pembagian trunkus dapat berakibat letak aorta yang abnormal (overriding), timbulnya penyempitan pada arteri pulmonalis, serta terdapatnya defek septum ventrikel. Dengan demikian, bayi akan lahir dengan kelainan jantung dengan empat kelainan, yaitu defek septum ventrikel yang besar, stenosis pulmonal infundibular atau valvular, dekstro posisi pangkal aorta, dan hipertrofi ventrikel kanan. Derajat hipertrofi ventrikel kanan yang timbul bergantung pada derajat stenosis pulmonal. Pada 50% kasus stenosis pulmonal hanya infundibular, pada 10-25% kasus kombinasi infundibular dan valvular, dan 10% kasus hanya stenosis valvular. Selebihnya adalah stenosis pulmonal perifer.
Hubungan letak aorta dan arteri pulmonalis masih di tempat yang normal, overriding aorta terjadi karena pangkal aorta berpindah ke arah anterior mengarah ke septum. Klasifikasi overriding menurut Kjellberg:
a. Tidak terdapat overriding aorta bila sumbu aorta desenden mengarah ke belakang ventrikel kiri.
b. Pada overriding 25% sumbu aorta asenden ke arah ventrikel sehingga lebih kurang 25% orifisium aorta menghadap ke ventrikel kanan.
c. Pada overriding 50% sumbu aorta mengarah ke septum sehingga 50% orifisium aorta menghadap ventrikel kanan.
d. Pada overriding 75% sumbu aorta asenden mengarah ke depan venrikel kanan. Derajat overriding ini bersama dengan defek septum ventrikel dan derajat stenosis menentukan besarnya pirau kanan ke kiri.
(Ilmu Kesehatan anak, 2001).

Karena pada TOF terdapat empat macam kelainan jantung yang bersamaan, maka:
  1. Darah dari aorta sebagian berasal dari ventrikel kanan melalui lubang pada septum interventrikuler dan sebagian lagi berasal dari ventrikel kiri, sehingga terjadi percampuran darah yang sudah teroksigenasi dan belum teroksigenasi.
  2. Arteri pulmonal mengalami stenosis, sehingga darah yang mengalir dari ventrikel kanan ke paru-paru jauh lebih sedikit dari normal.
  3. Darah dari ventrikel kiri mengalir ke ventrikel kanan melalui lubang septum ventrikel dan kemudian ke aorta atau langsung ke aorta, akan tetapi apabila tekanan dari ventrikel kanan lebih tinggi dari ventrikel kiri maka darah akan mengalir dari ventrikel kanan ke ventrikel kiri (right to left shunt).
  4. Karena jantung bagian kanan harus memompa sejumlah besar darah ke dalam aorta yg bertekanan tinggi serta harus melawan tekanan tinggi akibat stenosis pulmonal maka lama kelamaan otot-ototnya akan mengalami pembesaran (hipertrofi ventrikel kanan).
Pengembalian darah dari vena sistemik ke atrium kanan dan ventrikel kanan berlangsung normal. Ketika ventrikel kanan menguncup, dan menghadapi stenosis pulmonalis, maka darah akan dipintaskan melewati defek septum ventrikel tersebut ke dalam aorta. Akibatnya darah yang dialirkan ke seluruh tubuh tidak teroksigenasi, hal inilah yang menyebabkan terjadinya sianosis (Ilmu Kesehatan Anak, 2001).
Pada keadaan tertentu (dehidrasi, spasme infundibulum berat, menangis lama, peningkatan suhu tubuh atau mengedan), pasien dengan TOF mengalami hypoxic spell yang ditandai dengan: sianosis (pasien menjadi biru), mengalami kesulitan bernapas, pasien menjadi sangat lelah dan pucat, kadang pasien menjadi kejang bahkan pingsan. Sianosis timbul saat anak beraktivitas, makan/menyusu, atau menangis yang sering disebut ’tet spell’dimana terjadi vasodilatasi sistemik (pelebaran pembuluh darah di seluruh tubuh) yang menyebabkan peningkatan shunt dari kanan ke kiri (right to left shunt). Darah yang mengandung sedikit oksigen akan bercampur dengan darah yang kaya akan oksigen dimana percampuran darah tersebut dialirkan ke seluruh tubuh. Akibatnya, jaringan akan kekurangan oksigen dan menimbulkan gejala sianosis. Jika terjadi secara terus menerus, anak dapat mengalami pingsan dan menyebabkan hypoxic brain injury dan kematian. Untuk bayi yang tidak mengalami sianosis, disebut ’pink tet’.
Anak akan mencoba mengurangi keluhan tet spell yang mereka alami dengan berjongkok (squat) atau posisi lutut ke dada (knee chest position) untuk meningkatkan systemic vascular resistance (SVR) karena arteri femoralis terlipat. Hal ini akan meningkatkan aliran darah dari ventrikel kanan ke dalam paru-paru (www.wikipedia.org).

E. Pemeriksaan Diagnostik

a. Pemeriksaan Laboratorium
Ditemukan adanya peningkatan hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht) akibat saturasi oksigen yang rendah. Pada umumnya hemoglobin dipertahankan 16-18 gr/dl dan hematokrit antara 50-65%. Nilai AGD menunjukkan peningkatan tekanan partial karbondioksida (PCO2), penurunan tekanan parsial oksigen (PO2), dan penurunan pH.
b. Foto Rontgen Dada/Radiologi
Dari hasil pemeriksaan dengan sinar-X pada thoraks didapatkan gambaran penurunan aliran darah pulmonal, gambaran khas jantung tampak apeks jantung terangkat sehingga seperti sepatu boot (boot shape).
c. Elektrokardiogram
1) Pada EKG sumbu QRS hampir selalu berdeviasi ke kanan.
2) Tampak pula hipertrofi ventrikel kanan, kadang terdapat juga hipertrofi atrium kanan.
3) Pada anak yang sudah besar dijumpai P pulmonal.
d. Ekokardiografi
Memperlihatkan dilatasi aorta, overriding aorta dengan dilatasi ventrikel kanan, penurunan ukuran arteri pulmonalis, dan penurunan aliran darah ke paru-paru.
e. Kateterisasi
Diperlukan sebelum tindakan pembedahan untuk mengetahui defek septum ventrikel multipel, mendeteksi kelainan arteri koroner, dan mendeteksi stenosis pulmonal perifer. Mendeteksi adanya penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan ventrikel kanan, dengan tekanan pulmonalis normal atau rendah (Ilmu Kesehatan Anak, 2001).
Dalam kateterisasi dilakukan pengukuran McGoon Ratio dan Nakata Index untuk menilai tingkat atau derajat hipoplasia pulmonary artery (PA). McGoon Ratio merupakan ratio dari penjumlahan diameter RPA dan LPA dibagi diameter aorta desenden. Nilai normal dari McGoon Ratio adalah 2,0-2,5. Sebagian besar penderita TOF dengan pulmonary atresia memiliki McGoon Ratio > 1.
Nakata Index adalah luas penampang dari RPA dan LPA (mm2) dibagi dengan luas permukaan tubuh (BSA). Diameter rata-rata dari RPA dan LPA diukur dari titik proksimal ke awal percabangan lobar pertama pada maksimal dan minimal selama satu siklus jantung dalam tampilan anteroposterior dari arteriogram pulmonal. Luas penampang dihitung dengan menggunakan rumus π × 2 diameter ÷ magnification coefficient dan dinyatakan per luas permukaan tubuh (BSA). Nilai normal Nakata Indeks 330 ± 30 mm2/BSA. Pasien TOF dengan PS harus memiliki indeks > 100 untuk bertahan hidup (Park, Myung K. 2008).

F. Penatalaksanaan

  1. Penanganan tet spell/ blue spell
  • Pada penderita yang mengalami serangan sianosis maka terapi ditujukan untuk memutus patofisiologi serangan tersebut, antara lain dengan cara:
  • Posisi lutut ke dada (knee chest position) agar aliran darah ke paru bertambah karena peningkatan afterload aorta akibat penekukan arteri femoralis. Selain itu untuk mengurangi aliran darah balik ke jantung (venous).
  • Morphine sulfat 0,1-0,2 mg/kgBB SC, IM, atau IV atau dapat pula diberi Diazepam (Stesolid) per-rektal untuk menekan pusat pernafasan dan mengatasi takipneu.
  • Oksigen dapat diberikan, walaupun pemberian disini tidak begitu tepat karena permasalahan bukan kerena kekurangan oksigen, tetapi karena aliran darah ke paru menurun. Dengan usaha di atas diharapkan anak tidak lagi takipneu, sianosis berkurang dan anak menjadi tenang.
  • Beta-blockers seperti Propanolol 0,01-0,25 mg/kgBB IV perlahan-lahan untuk menurunkan denyut jantung sehingga serangan dapat diatasi. Dosis total dilarutkan dengan 10 ml cairan dalam spuit, dosis awal/bolus diberikan separuhnya, bila serangan belum teratasi sisanya diberikan perlahan dalam 5-10 menit berikutnya.
  • Penambahan volume cairan tubuh dengan infus cairan dapat efektif dalam penanganan serangan sianotik. Penambahan volume darah juga dapat meningkatkan curah jantung, sehingga aliran darah ke paru bertambah dan aliran darah sistemik membawa oksigen ke seluruh tubuh juga meningkat.

b. Pembedahan
  • Paliatif
             Tindakan pembedahan dianjurkan untuk semua pasien TOF. Pembedahan paliatif yang dilakukan, yaitu:
  • Waterson Shunt, yaitu membuat anantomosis intraperikardial dari aorta asenden ke arteri pulmonal kanan, hal ini biasanya dilakukan pada bayi. Pada tipe ini ahli bedah harus hati-hati untuk menentukan ukuran anastomosis yang dibuat antara bagian aorta asending dengan bagian anterior arteri pulmonal kanan. Jika anastomosis terlalu kecil maka akan mengakibatkan hipoksia berat. Jika anastomosis terlalu besar akan terjadi pletora dan edema pulmonal.
  • Potts Shunt, yaitu anastomosis antara aorta desenden dengan arteri pulmonal yang kiri. Teknik ini jarang digunakan.
  • Blalock-Taussig Shunt (BT-Shunt), yaitu merupakan prosedur shunt yang dianastomosis sisi sama sisi dari arteri subklavia ke arteri pulmonal. Pada awalnya kondisi ini belum dapat ditangani sampai ahli bedah Alfred Blalock, kardiologist Helen B. Taussig, dan asisten laboratorium Vivien Thomas di Johns Hopkins University mengembangkan sebuah prosedur pembedahan paliatif, dimana dibuat persambungan antara arteri subklavia dengan arteri pulmonal. Aliran baru ini menyebabkan sebagian darah bersih yang harusnya meninggalkan jantung masuk ke tubuh bagian atas berubah menjadi masuk ke paru-paru, meningkatkan aliran darah melewati sirkulasi pulmonal sehingga mengurangi gejala yang dirasakan pasien.
      Indikasi dilakukan BT-Shunt berbeda-beda tiap institusi. Adapun beberapa indikasi yaitu:
  1. Neonatus dengan TOF dan pulmonary atresia
  2. Infant dengan hypoplastic pulmonary annulus, yang memerlukan transannular patch untuk total koreksi
  3. Anak dengan hypoplastic PA
  4. Kondisi anatomi arteri koroner yang tidak baik
  5. Infant usia kurang dari 3-4 bulan yang mengalami hypoxic spells tidak terkendali dengan pengobatan medis
  6. Infant dengan BB kurang dari 2.5 kg
(Park, Myung K. 2008)

  • Total Korektif
Pada awalnya prosedur Blalock-Thomas-Taussig ini merupakan satu-satunya pembedahan yang dapat dilakukan untuk TOF, yang hanya meringankan (paliatif) bukan menyembuhkan (kuratif). Pembedahan total koreksi pertama dari TOF dilakukan oleh sebuah tim yang dipimpin C. Walton Lillehei di University of Minnesota tahun 1954 pada seorang anak laki-laki berusia 11 tahun. Total koreksi pada bayi/infant berhasil dilakukan sejak tahun 1981, dengan penelitian yang menunjukkan angka kematian yang rendah.
Pada awalnya total koreksi TOF ini memiliki risiko kematian yang cukup tinggi. Namun seiring berjalannya waktu lama-kelamaan risiko ini berkurang. Saat ini, ahli bedah sering melakukan pembedahan ini pada infant yang berusia 1 tahun atau kurang dari 1 tahun dengan angka kematian perioperatif kurang dari 5%. Pembedahan jantung terbuka yang dilakukan antara lain: mengurangi penyempitan/stenosis pada right ventricular outflow tract (RVOT) dengan tindakan reseksi otot ventrikel kanan, dan menutup defek pada VSD dengan Gore-Tex patch atau homograft. Waktu untuk pelaksanaan total koreksi ini bervariasi di tiap institusi, tapi pada umumnya dibutuhkan pembedahan yang lebih cepat.
  1. Saturasi oksigen kurang dari 75%-80% merupakan indikasi pembedahan di kebanyakan institusi. Terjadinya hypoxic spell umumnya dipertimbangkan sebagai indikasi untuk operasi.
  2. Infant dengan gejala simptomatik yang memiliki anatomi RVOT dan PA yang baik dapat langsung dilakukan total koreksi kapan saja setelah usia 3-4 bulan, beberapa institusi bahkan melakukannya sebelum usia 3 bulan. Koreksi elektif primer (primary elective repair) dilakukan pada usia 1-2 tahun, walaupun pasien asimptomatik, asianotik, atau sianotik minimal. Keuntungan dari koreksi primer yang lebih awal meliputi berkurangnya hipertrofi dan fibrosis RV, pertumbuhan normal dari PA dan alveolar, mengurangi insiden/kejadian Premature Ventricular Contractions (PVC) post operasi dan kematian mendadak. Koreksi yang dilakukan lebih awal menyingkirkan kebutuhan untuk prosedur bedah tambahan dan dengan demikian mengurangi jumlah hari rawat dan biaya operasi di rumah sakit.
  3. Infant dengan sianotik ringan yang sebelumnya sudah dilakukan pembedahan pembuatan shunt kemungkinan untuk dilakukan total koreksi 1-2 tahun setelah operasi pembuatan shunt.
  4. Anak dengan asimptomatik yang memiliki kelainan arteri koroner dapat dilakukan total koreksi setelah usia 1 tahun karena karena penempatan konduit mungkin diperlukan antara RV dan PA.
(Park, Myung K. 2008)

G. Komplikasi

  1. Masalah pendarahan dapat terjadi selama periode pasca operasi, terutama pada pasien polisitemia.
  2. Regurgitasi katup pulmonal mungkin terjadi, tetapi regurgitasi ringan dapat ditolerir.
  3. CHF (gagal jantung) meskipun bersifat sementara, mungkin memerlukan penanganan antikongestif.
  4. Right bundle branch block (RBBB) pada EKG yang disebabkan oleh ventriculotomy kanan, terjadi pada lebih dari 90% pasien, dapat ditoleransi.
  5. Anak dengan pink tet (TOF asianotik) dapat berkembang menjadi sianotik TOF.
  6. Spell hipoksia
  7. Cerebral vascular accident (CVA)
  8. Abses serebri
  9. Infeksi endokarditis
  10. Polisitemia
  11. Gangguan pertumbuhan
  12. KoagulopatI
  13. Anemia defisiensi besi
(Park, Myung K. 2008)

H. Assestment / Pengkajian

Pra-Bedah
Pengkajian adalah fase awal dari proses keperawatan terdiri dari 2 bagian yaitu pengumpulan data dan pengorganisasian data. Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu penentuan status kesehatan dan kebutuhan klien (Doengoes, 2001).
  1. Biodata
1) Pasien
2) Penanggung jawab
  1. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
2) Riwayat penyakit sekarang
Biasanya anak tampak sianosis pada bibir dan kuku, sesak nafas, jari tabuh (clubbing fingers), berat badan sulit naik.
3) Riwayat penyakit dahulu
Apakah sebelumnya pernah dirawat atau mendapat pengobatan.
4) Riwayat penyakit keluarga
Apakah terdapat anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan pasien. Apakah saudara kandung dari pasien juga lahir dengan penyakit jantung bawaan.
5) Riwayat kehamilan, tumbuh, psikososial/perkembangan.
  1. Riwayat kehamilan
Ditanyakan sesuai dengan yang terdapat pada etiologi (faktor endogen dan eksogen yang mempengaruhi).
  1. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
Biasanya anak cenderung mengalami keterlambatan pertumbuhan karena fatique atau kelelahan selama makan dan peningkatan kebutuhan kalori sebagai akibat dari kondisi penyakit.
  1. Riwayat psikososial/perkembangan
- Kemungkinan mengalami masalah perkembangan
- Mekanisme koping anak/keluarga
- Pengalaman hospitalisasi sebelumnya
  1. Pemeriksaan fisik
  • Pada awal bayi baru lahir biasanya belum ditemukan sianotik, bayi tampak biru setelah tumbuh.
  • Clubbing fingers tampak setelah usia 6 bulan.
  • Serangan sianotik mendadak (blue spells/cyanotic spells) ditandai dengan dispneu, napas cepat dan dalam, lemas, kejang, sinkop bahkan sampai koma dan kematian.
  • Anak akan sering squatting (jongkok) setelah anak dapat berjalan, setelah berjalan beberapa lama anak akan berjongkok dalam beberapa waktu sebelum ia berjalan kembali.
  • Pada auskultasi terdengar bising sistolik yang keras di daerah pulmonal yang semakin melemah dengan bertambahnya derajat obstruksi
  • Bunyi jantung I normal, sedang bunyi jantung II tunggal dan keras.
  • Bentuk dada bayi masih normal, namun pada anak yang lebih besar tampak menonjol akibat pelebaran ventrikel kanan.
  1. Pemeriksaan Penunjang
  1. Pemeriksaan Laboratorium
Ditemukan adanya peningkatan hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht) akibat saturasi oksigen yang rendah. Pada umumnya hemoglobin dipertahankan 16-18 gr/dl dan hematokrit antara 50-65%. Nilai AGD menunjukkan peningkatan tekanan partial karbondioksida (PCO2), penurunan tekanan parsial oksigen (PO2), dan penurunan pH.
  1. Foto Rontgen Dada/Radiologi
Dari hasil pemeriksaan dengan sinar-X pada thoraks didapatkan gambaran penurunan aliran darah pulmonal, gambaran khas jantung tampak apeks jantung terangkat sehingga seperti sepatu boot (boot shaped).
  1. Elektrokardiogram
Pada EKG sumbu QRS hampir selalu berdeviasi ke kanan. Tampak pula hipertrofi ventrikel kanan, kadang terdapat juga hipertrofi atrium kanan. Pada anak yang sudah besar dijumpai P pulmonal.
  1. Ekokardiografi
Memperlihatkan dilatasi aorta, overriding aorta dengan dilatasi ventrikel kanan, penurunan ukuran arteri pulmonalis, dan penurunan aliran darah ke paru-paru.
  1. Kateterisasi
Dalam kateterisasi dilakukan pengukuran McGoon Ratio dan Nakata Index untuk menilai tingkat atau derajat hipoplasia pulmonary artery (PA). McGoon Ratio merupakan ratio dari penjumlahan diameter RPA dan LPA dibagi diameter aorta desenden. Nilai normal dari McGoon Ratio adalah 2,0-2,5. Sebagian besar penderita TOF dengan pulmonary atresia memiliki McGoon Ratio > 1. Nakata Index adalah luas penampang dari RPA dan LPA (mm2) dibagi dengan luas permukaan tubuh (BSA). Nilai normal Nakata Indeks 330 ± 30 mm2/BSA. Pasien TOF dengan PS harus memiliki indeks > 100 untuk bertahan hidup.
  1. Pengetahuan anak dan keluarga
  • Pemahaman tentang diagnosis
  • Pengetahuan/penerimaan terhadap prognosis
  • Regimen pengobatan
  • Rencana perawatan ke depan
  • Kesiapan dan kemauan untuk belajar
  • Perawatan di rumah

Pasca-Bedah
Perawatan pasca-bedah dimulai sejak penderita masuk ke ICU. Untuk mengetahui problem pasca-bedah dianjurkan untuk mengetahui problem penderita pra-bedah sehingga dapat diantisipasi dengan baik. Misalnya problem pernapasan, diabetes, dan lain-lain.
Perawatan Pasca-Bedah:
  1. Perawatan di ICU
  1. Monitoring Hemodinamik.
Setelah pasien pindah ke ICU maka serah terima antara perawat yang mengantar ke ICU dan petugas / perawat ICU yang bertanggung jawab terhadap pasien tersebut. Dianjurkan setiap pasien satu perawat yang bertanggung jawab menanganinya selama 24 jam.
Pemantauan yang dikerjakan harus secara sistematis dan mudah:
  • Curah jantung
  • CVP, RAP, LAP
  • Denyut jantung
  • Wedge presure dan PAP
  • Tekanan darah
  • Adanya tanda residual VSD yaitu sesak dan saturasi oksigen rendah walaupun dengan pemberian fraksi oksigen yang tinggi. Jika terdapat tanda-tanda tersebut maka dapat dievaluasi dengan pemeriksaan echocardiography.
  • Obat-obat inotropik yang digunakan untuk support fungsi jantung dosisnya, rutenya dan lain-lain.
  • Alat lain yang dipakai untuk membantu seperti IABP, pacu jantung, dan lain-lain.
    1. EKG
Pemantauan EKG harus dikerjakan untuk melihat irama dasar jantung dan adanya kelainan irama jantung seperti AF, VES, blok atrioventrikel, dan lain-lain.  Perekaman EKG lengkap tergantung dari problem yang dihadapi terutama bila ada perubahan irama dasar jantung yang membahayakan.
    1. Sistem pernapasan
Biasanya pasien dari kamar operasi masih belum sadar dan bahkan diberikan sedasi sebelum ditransfer ke ICU. Sampai di ICU segera ventilator dipasang dan dilihat:
  • Ukuran dan kedalaman ETT yang dipakai
  • Tidal volume dan minute volume, RR, FiO2, PEEP
  • Dilihat aspirat yang keluar dari bronkhus/tube, apakah lendirnya normal, kehijauan, kental atau berbusa kemerahan sebagai tanda edema paru ; bila perlu dibuat kultur
    1. Sistem neurologis
Kesadaran dilihat dari waktu pasien mulai bangun atau masih diberikan obat-obatan sedatif atau pelumpuh otot. Bila pasien mulai bangun maka disuruh menggerakkan keempat ektremitasnya.
    1. Fungsi ginjal
Dilihat produksi urin tiap jam dan perubahan warna yang terjadi akibat hemolysis, dan lain-lain. Pemerikasaan ureum/kreatinin bila memungkinkan dapat dikerjakan.
  1. Fungsi endokrin
Bila pasien menderita diabetes atau memiliki kadar gula darah yang tinggi maka pemeriksaan kadar gula darah harus dikerjakan tiap 6 jam dan bila tinggi mungkin memerlukan terapi insulin.
  1. Laboratorium
         Setelah sampai di ICU perlu diperiksa:
  • Pemeriksaan darah lengkap
  • ACT, PT-APTT
  • Analisa gas darah
  • LFT/Albumin
  • Ureum, kreatinin, gula darah
  1. Drain
Produksi dari drain yang dipasang meliputi warna, jumlah, dan karakteristiknya harus dipantau sehingga sumber perdarahan mungkin bisa diketahui. Pemantauan drain dilakukan tiap jam tetapi bila ada perdarahan maka observasi di kerjakan tiap ½ jam atau tiap ¼ jam. Perdarahan yang terjadi lebih dari 3 cc/kgBB/jam dianggap sebagai perdarahan pasca-bedah dan mungkin memerlukan retorakotomi untuk menghentikan perdarahan.
  1. Foto Thoraks
Pemerikasaan foto thoraks di ICU segera setelah sampai di ICU untuk melihat posisi dan letak ETT, CVP, drain, kateter Swan Ganz. Perawatan pasca-bedah di ICU harus disesuaikan dengan problem yang dihadapi seperti komplikasi yang dijumpai. Umumnya bila fungsi jantung normal, penyapihan terhadap ventilator segera dimulai dan begitu juga ekstubasi beberapa jam setelah pasca-bedah.
  1. Fisioterapi
Fisioterapi harus segera mungkin dikerjakan termasuk pada pasien dengan ventilator. Bila sudah ekstubasi, fisioterapi penting untuk mencegah retensi sputum (nafas dalam, fibrilasi, postural drainase).

  1. Perawatan setelah di ICU/di Ruangan
Setelah pasien keluar dari ICU, pemantauan terhadap fungsi semua organ tetap dilanjutkan. Umumnya pemeriksaan hematologi rutin dan thoraks foto telah dikerjakan.
    1. Obat-obatan yang biasanya diberikan yaitu analgetik karena rasa sakit daerah dada waktu batuk akan mengganggu pernapasan pasien.Obat-obat lain seperti anti-failure, obat diabetes, dan vitamin harus sudah dimulai. Ekpektoransia atau bronchodilator juga diperlukan untuk mengeluarkan sputum yang banyak sampai hari ke-7 atau sampai pasien pulang.
  1. Perawatan luka dapat tertutup atau terbuka.Bila ada tanda-tanda infeksi seperti kemerahan dan bengkak pada luka apalagi dengan tanda-tanda panas, leukositosis maka luka harus dibuka jahitannya sehingga nanah yang ada bisa bebas keluar. Kadang-kadang perlu dikompres dengan antiseptik. Bila luka sembuh dengan baik jahitan sudah dapat dibuka pada hari kedelapan atau sembilan pasca-bedah.
  2. Fisioterapi setelah pasien ekstubasi harus segera dikerjakan untuk mencegah retensi sputum yang dapat menyebabkan problem pernapasan. Mobilisasi di ruangan mulai dengan duduk di tempat tidur, turun dari tempat tidur, berjalan di sekitar tempat tidur, berjalan ke kamar mandi, dan keluar dari ruangan dengan dibimbing oleh fisioterapis atau perawat.
  3. Perawatan di Ruang Rawat
Setelah klien keluar dari ICU maka pemantauan tetap hemodinamik tetap dipanatau di ruang Intermediet ward (IW).
Setelah klien keluar dari ICU maka pemantauan terhadap fungsi semua organ terus dilanjutkan. Biasanya pindah dari ICU pada hari ke dua pasca bedah.Umumnya pemeriksaan hematologi rutin dan thoraks foto telah dikerjakan termasuk laboratorium LFT, Enzim CK dan CKMB.
Hari ke 3 lihat keadaan dan diperiksa antara lain :
· Elektrolit thrombosis.
· Ureum
· Gula darah
· Thoraks foto
· EKG12 lead.
Hari ke 4 : lihat keadaan, pemeriksaan atas indikasi.
Hari ke 5 : Hematologi, LFT, Ureum dan bila perlu elektrolit, foto thoraks tegak.
Hari ke 6 -10 : pemerikasaan atas indikasi, misalnya thrombosis.

Obat – obatan ini biasanya diberikan analgetik karena rasa sakit daerah dada waktu batuk akan mengganggu pernapasan klien. Obat-obat lain seperti anti hipertensi, anti diabet, dan vitamin harus sudah dimulai, expectoransia, bronchodilator, juga diperlukan untuk mengeluarkan sputum yang banyak sampai hari ke 7 atau sampai klien pulang.
Perawatan luka, dapat tertutup atau terbuka.Bila ada tanda-tanda infeksi seperti kemerahan dan bengkak pada luka apalagi dengan tanda-tanda panas, lekositosis, maka luka harus dibuka jahitannya sehingga nanah yang ada bisa bebas keluar. Kadang-kadang perlu di kompres dengan antiseptik supaya nanah cepat kering. Bila luka sembuh dengan baik jahitan sudah dapat di buka pada hari ke delapan atau sembilan pasca bedah. Untuk klien yang gemuk, diabet kadang-kadang jahitan dipertahankan lebih lama untuk mencegah luka terbuka.
Fisioterapi, setelah klien exstubasi maka fisioterapi harus segera dikerjakan untuk mencegah retensi sputum yang akan menyebabkan problem pernapasan. Mobilisasi di ruangan mulai dengan duduk di tempat tidur, turun dari tempat tidur, berjalan disekitar tempat tidur, berjalan ke kamar mandi, dan keluar dari ruangan dengan dibimbing oleh fisioterapis atau oleh perawat.


1 komentar: