Selasa, 13 Mei 2014

Lagu Indie Korea

Bosen lagu korea kyk SNSD, 2PM, atau 2NEi, terus ingin cari hiburan lain yang lebih cozy dan easy listening? ini nih musik – musik indie asal negeri gingseng yang cozy dan easy listening banget. berbeda banget dengan lagu dari band band itu yang lebih menghentak dan nge beat, tapi ini lebih ringan dan catchy di kuping. Check it,.:)

1. Vanilla Acoustic - Wasteful man
ini lagu cocok banget buat yang lagi jatuh cinta nih. Cerita lagu ini tentang cewek yang sedang jatuh cinta dengan seseorang pria yang punya senyum dan mata yang menawan. Easy banget nih lagu, bikin semangat hari mu.

2. Ra.D – I’m In Love
ini lagu pas buat para cowok yang mau nembak cewek taksirannya. Serius deh! Aransemen musik yang ringan dan lirik yang romantis ini pasti bisa bikin cewek taksirannya lumer karenanya. Haha, :D

3. Standing Egg - ๊ทธ๋ž˜ ๋„ˆ
Lagu yang musiknya ngepop abis ini bercerita tentang seorang cowok yang mau nge-date sama pacarnya!
so sweet! Lagu dan video ini pasti bakal bikin senyum – senyum sendiri.

4. Brother Su ft Lovey – Different Star
Perjalanan cinta memang kadang engga selalu mulus kan, terkadang bisa aja kayak lagunya Brother Su feat Lovey ini. Di bagian yang cowok dalam lagu ini bercerita tentang dia yang bingung kenapa si cewek ngambek padanya. Sedangkan bagian yang cewek bercerita tentang kekesalannya pada cowoknya yang sama sekali enggak peka.

5. Yozoh – Again and Again
Ini nih yang paling enggak enak kalau LDR! Tapi tenang saja, ada lagu “Again and Again” dari Yozoh ini. Suara Yozoh yang lembut dicampur melodi – melodi indah pasti bakal nyantol di hatimu! Psssttt, lagu ini juga sempat jadi soundtrack drama Love Rain-nya si Jang Geun Seuk sama Yoona SNSD itu lhoo.

6.  Urban Zakapa – Caffe Latte
Kalau mau move on, “Caffe Latte” dari Urban Zakapa bisa jadi pelipur lara lho.  Lagu ini punya beat yang hampir serupa dengan lagu Vanilla Acoustic di atas berkisah tentang pasangan yang telah berpisah namun mereka tetap belum move on satu sama lain.

7. Acoustic Colabo – First Love’s Melody
Udah sering dengar kan, kalau cinta pertama itu susah buat dilupain. Emang apa spesialnya cinta pertama? Lagu dan musik video dari Acoustic Collabo ini jawabannya! Dengan irama dan video yang riang pasti lagu ini bikin ingat cinta pertama dlu




Nah, ini pilihan untuk ngilangin bosen yang mungkin jadi soundtrack hatimu. Apapun itu enggak ada salahnya kan buat nyobain sesuatu yang baru kan?

Minggu, 11 Mei 2014

Sebab rindu pun ditagih

Sebab rindu pun minta ditagih.
Yang membuat aku bertemu harap.
Yang membuat aku terus berharap.

Tapi waktu yang menjadikan kekosongan itu bertambah panjang.
Mungkinkah sejenak saja, waktu berbaik hati untuk menemukan
Agar manusia tak takut diburu kesepian.
Agar tak ada lagi rindu yang berlarut-larut.
Yang digumamkan sebagian orang di sepanjang malam yang dingin.

Kadang, aku ingin berdiam saja.
Berpura-pura lupa telah menaruh sepotong rasa.

Rindu minta dipertemukan.


#bulan ke 5 dari pertemuan kita.. :)

Sebab Dalam Diam Doa Terpanjat Sempurna

semoga ada sisa umur untuk bertaubat akan yang salah | dan ada sisa sabar untuk memaafkan yang tersalah

meruah emosi memang sementara bisa puaskan diri | sampai satu saat tiada sadar ia meracuni hati

namun rasa sayang memang lebih banyak terkandung dalam diam | saat bicara justru menyakiti dan berbuat bisa jadi dzalim

sebab dalam diam doa terpanjat sempurna | sebab dalam diam akan memadamkan riya

sebab diam membuatmu mendengar | bukan selalu ingin didengar 

(Ust. Felix Shiauw)

Menjemput Cinta yang diBerkahi ^^

Cinta yang memuliakanmu. Cinta itu fitrah. Bisa datang dari sisi mana saja. Bermula dari mata turun ke hati, dari telinga turun ke hati. Tapi jangan sampai cinta membutakan mu. Karena itu, sikapilah cinta dengan bijaksana.
"Cinta bagi ruh sama dengan makanan bagi tubuh. Jika engkau meninggalkannya, itu akan membahayakan dirimu, tapi jika engkau terlalu banyak memakannya dan tidak seimbang, itu akan membinasakanmu." (Ibnul Qayyim Al Jauziy)
Nah tapi cinta ada bermacam macam, cinta kepada Allah dan Rasul, cinta kepada orangtua, cinta kpd diri sendiri ato cinta kpd lawan jenis.
Cinta mulia kpd lawan jenis membuat kita menjaga kesucian diri hingga saat indah penuh berkah datang. Tapi kenapa dorongan mencintai lawan jenis kok kuat banget yaa.. nh, utk itu Rasullah menjawabnya "Kami tidak pernah mengetahui solusi utk dua orang yang salibg mencintai semisal pernikahan." (hr. ibnu majah)
so, segera menikah... hihi...:) nah buat yang sudah siap, trus apa dong yang mesti disiapin..
Oke, Menjemput Cinta yang di Berkahi. dan aku sebut ini Alur Menjemput Cinta. step by step nya nii...

Luruskan niat --> pantaskan diri --> sampaikan maksud kpd orang tua --> ta'aruf atau perkenalan --> musyawarah dan istikharah --> khitbah --> akad dan walimah.

nah itu baru alur nya.. tiap step ada hal hal yang harus di perhatikn lhoo. Jangan asal aja yaa.... oke, let's talk about it.
1. Luruskan niat
2. Pantaskan diri
3. Sampailan maksud pd orang tua
4. Ta'aruf
5. musyawarah dan istikharah
6. Khitbah  (lamaran)
7. Akad dan Walimah

Bidirectional Cavo Pulmonary Shunt (BCPS)

A. Konsep Bidirectional Cavo Pulmonary Shunt (BCPS)

1. Pengertian
BCPS adalah tindakan bedah paliatif yang memisahkan hubungan antara vena cava superior dengan atrium dan mengalirkannya ke kedua arteri pulmonalis. Metode ini mampu menambah aliran darah ke paru tanpa membebani ventrikel atau mengakibatkan penyakit vaskuler paru. (Bojar, 1999).
Prosedur BCPS dilakukan dengan membuat sambungan antara vena besar yaitu Superior Vein Cava (SVC) dengan right pulmonary artery sehingga darah tidak melewati ruang jantung kanan dan mengalir langsung ke arteri pulmonalis untuk dioksigenasi. Secara umum prosedur ini dilakukan ketika right ventrikel atau left ventrikel lebih kecil dari normal atau rusak sehingga tidak mampu untuk memompakan darah ke seluruh tubuh atau paru.
Pada tindakan ini, darah vena yang berasal dari kepala dan tubuh bagian atas akan dihubungkan langsung ke paru-paru dengan di bypass (dipotong) ke ventrikel kanan. Sedangkan darah vena dari tubuh bagian bawah akan diteruskan mas uk ke jantung. Prosedur BCPS merupakan operasi jantung yang dipersiapkan untuk prosedur Fontan. Operasi ini dilakukan dengan sayatan di dada, namun bukan merupakan operasi jantung terbuka (Severin’s Journey, 2004).

2. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dan manfaat dilakukannya operasi BCPS (Severin’s Journey, 2004) diantaranya :
a. Menambah aliran darah ke paru tanpa membebani ventrikel atau mengakibatkan penyakit vaskuler paru.
b. Meningkatkan saturasi oksigen arteri
c. Menurunkan kerja ventrikel sehingga tidak menyebabkan penebalan dan kekakuan pembuluh darah paru (menurunkan load single ventricel)
d. Langkah awal sebelum dilakukan operasi Fontan

 3. Indikasi
Indikasi ilakukannya operasi paliatif BCPS menurut Myung K. Park dalam Pedatric Cardiology for Practitioners diantaranya:

a. Single ventricle
Pada keadaan hanya terdapat satu ventrikel, kedua atrium akan mengalirkan darahnya melalui katup arterioventrikular hanya pada satu ventrikel saja. Ventrikel yang ada tersebut bisa kiri, kanan, ataupun mempunyai karakteristik dari keduanya. Aorta dan arteri pulmonal mendapatkan kiriman darah dari satu ventrikel tersebut. Kelainan ini biasanya diikuti dengan stenosis atau atresia pulmonal (Behrman, 1996).
Tanda dan gejala tergantung dari banyaknya kelainan jantung dan keeadaan hemodinamik pasien. Jika aliran darah ke paru terhambat, keadaan klinis akan sama atau mirip dengan tetralogi of fallot dimana akan mengalami sianosis tanpa kegagalan jantung. namun jika aliran darah ke paru tidak mengalami sumbatan, sianosis yang terjadi tidak parah/berat dan gagal jantung (Sastroasmoro, 1994).

b. Atresia tricuspid
Trikuspid atresia adalah penyakit jantung bawaan dimana tidak adanya katup trikuspid oleh kerena itu tidak ada koneksi atrioventikuler (komunikasi antara atrium kanan dan ventrikel kanan). Maka dari itu, kelangsungan hidup pasien bergantung pada adanya defek septum atrium atau foramen ovale, yang juga merupakan jalan darah dari atrium kanan ke jantung kiri. (Behrman, 1996).
Lima puluh persen pasien dengan atresia trikuspid menunjukkan gejala sianosis atau bising setelah lahir. Apabila aliran darah ke paru berkurang maka pasien tampak sianotik, makin sedikit darah ke paru makin jelas sianosisnya. Bila tidak disertai atresi pulmonal masih terdengar bising sistolik di daerah parasternal kiri. Apabila aliran darah ke paru cukup atau bertambah, maka sianosis hanya ringan, dan gejala yang menonjol adalah gagal jantung. Bila tidak terdapat defek septum ventrikel maka aliran darah ke paru didapatkan dari duktus arteriosus persisten atau arteri bronkhial. 85% pasien dengan atresia trikuspid terdiagnosis pada usia di bawah 2 bulan. Pasien dengan atresia trikuspid mempunyai resiko penutupan VSD secara spontan sehingga dapat mengakibatkan gejala sianosis yang parah (Behrman, 1996)

c. Hypoplastic left heart syndrome (Norwood : stage II)
Keadaan ini menggambarkan keadaan dimana tidak tumbuh/berkembangnya jantung bagian kiri. Ventrikel kiri berukuran kecil tidak berfungsi sehingga ventrikel kanan yang bertanggung jawab atas sirkulasi pulmonal dan sistemik. Katup aorta dan mitral mengalami atresia. Darah dari vena pulmonal akan menuju jantung kanan melalu defek atrium dan foramen ovale sehingga akan bercampur dengan darah dari vena sistemik. Jika tidak terdapat defek pada ventrikel, maka semua darah dari ventrikel kanan akan di pompakan ke arteri plmonal. Aorta desenden mendapatkan suplai darah dari duktus arterious, aliran ini juga akan mengisi aorta asenden dan arteri koronari (Behrman, 1996).
Walaupun sianosis tidak selalu nampak pada 48 jam pertama setelah kelahiran, tetapi warna biru pada tubuh dapat terlihat. Kebanyakan bayi terdiagnosa pada beberapa jam atau beberapa hari setelah lahir. Jika duktus arterious sebagian tertutup, Gejala dari hipoperfusi sistemik dan shock mulai terlihat. Gejala gagal jantung kongestif dapat terlihat pada minggu pertama kelahiran, disertai dipsneu, hepatomegali dan penurunan kardiak output. Biasanya pulsasi perifer sangat lemah bahkan tidak ada. Saat dilakukan auskultasi, terdengar murmur sistolik (Behrman, 1996).

d. Pulmonary atresia with intak seftal ventrikel
Pulmonary atresia adalah cacat bawaan sejak lahir yang terjadi akibat perkembangan abnormal dari jantung janin selama delapan minggu pertama. Pulmonary atresia merupakan penyakit jantung bawaan dengan malformasi pulmonary artery valve dimana katub gagal untuk mengembang sehingga menghalangi aliran darah dari jantung ke paru (Behrman, 1996).
Karena terdapat atresia pulmonal dan tidak terdapat defek septum ventrikel, maka darah dari ventrikel kanan tidak dapat keluar. Dari atrium kanan darah menuju ke atrium kiri melalui defek septum atrium atau foramen ovale. Satu-satunya jalan darah ke paru adalah melalui duktus arteriosus atau sirkulasi bronkhial. Biasanya terdapat insufisiensi trikuspid.
Sianosis telah jelas tampak pada waktu bayi lahir yang terus bertambah pada hari-hari pertama bahkan kebanyakan meninggal dalam waktu satu minggu setelah kelahiran. Bayi sesak dengan gejala gagal jantung. Pada auskultasi suara jantung dua (S2) terdengar tunggal dan pelan, biasanya tidak terdapat murmur. Continous murmur atau sistolik murmur bisa terdengar pada aliran darah pada duktus (Behrman, 1996).

B. Asuhan Keperawatan

1. Pre Operasi (BCPS)
a. Pengkajian
1) Identitas
Data identitas klien sangat penting untuk diketahui sebagai data dasar klien sebelum kita melakukan pemeriksaan. Data ini pula dapat dipakai oleh perawat dalam melakukan intervensi keperawatan kepada klien. Yang termasuk di dalam identitas klien diantaranya nama, jenis kelamin, usia & tempat tanggal lahir, alamat, nomor medrek.

2) Keluhan Utama
Keluhan utama pada penyakit jantung bawaan diantarnya yang paling sering adalah klien mengeluhkan sesak nafas, cepat lelah, kebiruan pada daerah perifer atau mukosa, gagal tumbuh dan sering mengalami batuk pilek berulang.

3) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada penyakit trikuspid atresia, pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah pengkajian sianosis, dengan atau tanpa clubbing, getaran sistolik jarang teraba pada pulmonal stenosis, suara jantung S2 normal, terdengan murmur holosistolik jika terdapat atresia trikuspid dengan VSD. Sedangkan murmur kontinus terdengar bila trikuspid atresia disertai dengan PDA. Selain itu pemeriksaan yang harus dilakukan adalah adanya hepatomegali bila kumonikasi interatrial tidak adekuat (Myung K. Park, 2008).
Pemeriksaan fisik untuk pulmonal atresia dengan infact ventricular septum diantaranya, adanya sianosis berat dan takipnea biasanya terjadi pada distress neonates, suara jantung (S2 normal atau biasanya tidak ada), murmur terdengar pelan pada trikuspid regurgitasi, dan murmur kontinu dapat terdengar bila terdapat PDA, dan kaji jiga adanya hepatomegali bila komunikasi interatrial tidak adekuat (Myung K. Park, 2008).
Pada HLHS (hypoplastic left heart syndrome), gejala akan nampak beberapa jam setelah bayi lahir, yaitu adanya takikardi, dispnea, suara paru krakels, nadi perifer teraba lemah, dan vasokonstriksi pada ekstremitas, pada pasien HLHS tidak tampak adanya cianosis berat, tetapi tampak biru keabu-abuan akibat perfusi ke jaringan yang tidak baik. Selain itu pada HLHS terdengar suara S2 normal dank jelas, murmur tidak terdengar, murmur ejeksi fraksi sistolik terdengar nonspesifik di atas prekordium, dan adanya gejala pada CHF, yaitu adanya hepatomegali dan terdengar gallop (Myung K. Park, 2008).
Pada kelainan single ventricle, terdapat peningkatan aliran darah ke paru, hal tersebut biasanya juga ditemukan pada kelainan TGA dan VSD besar dengan gejala, sianosis ringan dan CHF, serta keterlambatan tumbuh kembang yang muncul pada bayi baru lahir. Suara jantung S2 terdengar normal, murmur sistolik terdengar di parasternal kiri, dan suara S3 di bagian apeks. Murmur diastolic paada pulmonal regurgitasi terdengar di parasternal kiri atas akibat dari pulmonal hipertensi. Pada kelainan single ventricle, juga terdapat peurunan aliran darah ke paru, hal tersebut biasanya juga ditemukan pada kelainan TOF.sianosis tampak sdang sampai berat, CHF tidak tampak, clubbing finger
 
mungkin terlihat pada bayi dan anak-anak. Bunyi jantung S2 terdengar normal dan jelas, grade 2 sampai 4/6 murmur ejeksi sistolik dapat terdengar di kanan atas atau parasternal kiri (Myung K. Park, 2008).

4) Riwayat kesehatan Dahulu
Pada kelainan trikuspid atresia tanyakan adanya sianosis berat sejak lahir, takipneau, sedikit makan/minum, riwayat spell hipoksia pada bayi baru lahir (Myung K. Park, 2008).
Pada kelainan HLHS (hypoplastic left heart syndrome) edema pulmonal dan CHF berkembang pada minggu pertama kelahiran, shock sirkulasi dan hipoksemia serta asidosis dapat menyebabkan kematian pada bulan pertama kelahiran (Myung K. Park, 2008).
Pada pulmonal atresia kaji riawyat sianosis berat sejak kelahiran (Myung K. Park, 2008).
Pada kelainan single ventrikel, tanyakan riwayat sianosis dengan derajat yang berbeda sejak lahir, riwayat gangguan tumbuh kembang atau pnemounia pada bayi baru lahir dengan peningkatan aliran darah ke paru (Myung K. Park, 2008).

5) Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Pada penyakit jantung bawaaan, sangat erat kaitannya dengan riwayat kehamilan terutama pada trimester pertama yaitu dimana pembentukan jantung mulai pada minggu ke-empat (Behrman, 1996). Perlu kita kaji bagaiamna proses kehamilan pada trimester pertama, apakah pada saat hamil ibu klien mengalami penyakit infeksi, mempunyai kebiasaan minum minuman keras, atau pernah/sering mengkonsumsi obat-obatan/jamu. Penting juga mengkaji bagaimana riwayat kelahiran bayi, apakah normal atau tidak, apakah setelah lahir bayi langsung menangis atau tidak, apakah tanda kebiruan pada bayi ada sejak bayi lahir atau setelah beberapa hari/bulan baru muncul, bagaimana keadaan fisik bayi, adakah kelainan bawaan lain, berapa berat badan klien saat lahir.

6) Riwayat Kesehatan Keluarga
Dikaji terutama kondisi kesehatan ibu dari klien. Apakah ibu kilen menderita penyakit jantung bawaan saat masih kecil, apakah menderita diabetes mellitus, berapa umur ibu saat hamil. Selain itu kaji juga apakah ada anak yang sebelmunya menderita penyakit jantung bawaan, apakah ayah dari klien juga pernah mengalami penyakit jantung bawaan.

7) Riwayat Psikososiospiritual
Kaji bagaimana riwayat psikologis, sosial, dan spiritulal klien (jika memungkinkan) juga keluarga klien. Apakah dengan sakitnya, klien ataupun keluarga mengalami gangguan psikososiospiritual.

8) Riwayat Tumbuh Kembang
Pada penyakit jantung bawaan, kebanyakan anak akan mengalami gangguan tumbuh kembang. Keadaan ini dapat dikaji dengan menggunakan alat skrining perkembangan salah satunya dengan metode Denver.

9) Pola ADL
Kaji aktivitas harian klien meliputi pola makan & minum, eliminasi, istirahat & tidur, ativitas bermain.

b. Pemeriksaan Fisik
1) Antropometri
Ukur berat dan tinggi badan. Sesuaikah ukuran tersebut dengan usia klien. Berat badan dan tinggi badan juga akan berpengaruh pada pemberian nutrisi dan obat-obatan
2) Tanda-tanda vital
Ukur tanda-tanda vital, diantaranya heart rate, respirasi rate, temperature, tekanan darah, saturasi oksigen, nyeri jika ada. Hal ini sangat penting apalagi pada klien dengan gangguan jantung. perubahan tanda-tanda vital tersebut dapat menggambarkan hemodinamik klien dimana hal ini sangat berkaitan erat dengan keadaan jantung dan paru klien.

c. Pemeriksaan Diagnostik
1) Elektrokardiogram (EKG)
Elektrokardiogram merupakan suatu grafik yang menggambarkan aktivitas listrik jantung. Pada klien dengan kelain jantung tricuspid atresia, gambaran EKG menunjukkan deviasi sumbu ke kiri (left axis deviation) dengan hipertrofi ventrikel kiri. Kombinasi left axis deviation dan sianosis merupakan gejala khusus pada atresia trikuspid. Selain itu juga terdapat pembesaran atrium kanan (P mitral) (Behrman, 1996).
Pada klien dengan single ventrikel EKG tidak dapat menggambarkan adanya kelaianan ini secara spesifik. Namun biasanya bisa terlihat hipertropi ventrikel (Behrman, 1996).
Pada klien dengan HLHS dapat memperlihatkan hanya didominasi ventrikel kanan, gelombang P menjadi prominen dan biasanya terdapat hipertropi ventrikel kanan (Behrman, 1996).
Pada klien dengan pulmonal atresia, QRS axis normal, tampak pembesaran ventrikel kiri, pembesaran ventrikel kanan pada bayi baru lahir, pada 70% kasus umumnya terjadi pembesaran atrium kanan (Behrman, 1996).

2) Ekokardiogram
Ekokardiogram merupakan pemeriksaan non invasive dengan menggunakan ultrasound untuki menilai struktur anatomi jantung dan pembuluh darah jantung, fungsi serta hemodinamiknya (Behrman, 1996).
Pada klien dengan atresia tricuspid ekokardiografi 2-dimensi menunjukkan katup trikuspid atretik. Ventrikel kanan kecil atau sama sekali tidak ada, sedangkan katup mitral normal dengan annulus yang terdialatasi. Ventrikel kiri besar dengan dinding yang menebal (Behrman, 1996).
Pada klien dengan single ventrikel, pemeriksaan ekokardiografi dapat terlihat adanya satu ventrikel, apakah hanya ventrikel kanan saja atau kiri saja atau morfologinya mirip keduanya. Juga bisa terdeteksi arah aliran darah dari ventrikel tersebut (Behrman, 1996).
Pada klien dengan HLHS ekokardiogram dapat memperlihatkan atresia atau hipoplasia katup mitral dan aortic, ukuran atrium dan ventrikel kiri (kecil), ukuran atrium dan ventrikel kanan (besar), dan mengidentifikasi katup trikuspid. Pemeriksaan dengan menggunakan dopler memperlihatkan adanya aliran retrograt yang berasal dari duktus arterious (Behrman, 1996).
Pada klien dengan pulmonal atresia dapat ditemukan a) penebalan, stenosis, dan tanpa adanya aliran darah ke paru mealui katup pulmonal, b) hipertrofi venrtikel kanan, c) pengecilan katup trikuspid, d) terjadinya right to left shunt melalui ASD, e) adanya aliran darah pada ductus arteriosus dari arcu aorta ke pulmonal arteri (Behrman, 1996).

3) Chest x-ray
Pada klien dengan tricuspid atresia jantung biasanya normal, namun apeks tidak terangkat dan batas jantung kiri agak persegi (square shape). Bayangan jantung di kanan bawah paravertebra nampak kurang. Corakan vaskular paru menurun kecuali bila terdapat defek septum ventrikel besar (Behrman, 1996).
Pada klien dengan single ventrikel, gambaran rongen menunjukan pembesaran jantung. Pada kasus yang disertai stenosis pulmonal maka terlihat adanya penurunan vaskularisasi paru sedangkan pada kasus tanpa stenosis pulmonal menunjukkan peningkatan vaskularisasi paru (Behrman, 1996).
Pada klien dengan HLHS, rongen dada dapat memperlihatkan peningkatan vaskularisasi paru dan pembesaran jantung (Behrman, 1996).
Pada klien dengan pulmonal atresia, ukuran jantung dapat terlihat normal atau membesar akibat pembesaran atrium kanan, penurunan aliran darah ke paru yang ditandai dengan gambaran ruang paru yang gelap, MPA tampak cekung (Behrman, 1996).

4) Hematologic:  PT, PTT, platelet count (elevated PT and PTT are common in cyanotic children)

5) Chemistry: electrolytes, BUN, creatinine, glucose, calcium (in neonates), drug levels (e.g., digoxin)

6) Urinalysis

7) Kateterisasi jantung dan angiografi diperlukan untuk memastikan anatomi dan ukuran arteri pulmonalis. Ventrikel kanan tidak dapat dicapai kateter, dan kateter mudah masuk dari atrium kanan ke atrium dan ventrikel kiri. Pada penyuntikan kontras di atrium kanan maka seluruh kontras tersebut masuk ke atrium kiri, kemudian ke ventrikel kiri. Dari ventrikel kiri ini kontras melalui defek septum ventrikel ke ventrikel kanan, kemudian ke arteri pulmonalis (Behrman, 1996).

2. Post Operasi (BCPS)
a. Pengkajian
1) Identitas : nama, jenis kelamin, usia, alamat, NRM, diagnosa dan pekerjaan ( untuk pasien dewasa)

2) Keluhan Utama
Pasien post operasi akan berada dibawah pengaruh sedasi sehingga mengalami penurunan kesadaran

3) Riwayat Penyakit Sekarang
Dalam tahap ini dijelaskan kondisi pasien secara garis besar mulai dari awal dioperasi sampai dipindahkan di ruang ICU

4) Pola ADL
Setelah pasien datang dari ruang operasi kaji aktivitas harian klien meliputi pola makan&minum, eliminasi, istirahat& tidur, ativitas bermain (pasien sadar)

b. Pemeriksaan Fisik
1) Sistem Pernafasan
Pengkajian terhadap status respirasi bertujuan untuk mengetahui secara dini tanda dan gejala tidak adekuatnya ventilasi dan oksigenasi. Perawat mengkaji status respirasi pasien selama operasi, ukuran endotrakeal tube, masalah yang dihadapi selama intubasi, lama penggunaan alat mesin jantung paru. Selanjutnya kaji gerakan dada, suara nafas, setting ventilator (frekuensi, volume tidal, konsentrasi oksigen, Mode, PEEP), kecepatan nafas, tekanan ventilator, saturasi oksigen, AGD.

2) Sistem Cardiovaskuler
Meliputi frekuensi dan irama jantung, tekanan darah arteri, tekanan vena sentral (CVP), tekanan arteri paru, tekanan balik paru (PCWP), bentuk gelombang pada tekanan darah invasive, curah jantung dan cardiac index, drainase rongga dada, fungsi pacemaker. Selain itu, diperlukan pemantauan pengeluaran semua selang drainase, parameter curah jantung, dan indikasi ketidakseimbangan elektrolit. Karena pada pasien post operasi akan terpasang selang drainase untuk mengetahui terjadinya perdarahan. Pantau adanya tanda-tanda SVC syndrom dan pemantauan intake dan output (pasien post operasi dengan on CPB akan dibatasi jumlah cairann perhari)

3) Sistem Neurologis
Tingkat responsifitas, ukuran pupil dan reaksi terhadap cahaya, reflex, gerakan ekstremitas, dan kekuatan genggaman tangan. Selain itu kita gunakan pengkajian dengan sedasion score, kita bisa mengobservasi lewat ekspresi wajah dan gerak pasien.

4) Sistem Genitourinari
Pasien post operasi biasanya terpasang kateter urine untuk monitoring pengeluaran urine, berat jenis urine, dan osmolalitas penting untuk dilakukan pengkajian dan pemantauan secara terus menerus karena berkaitan dengan sirkulasi darah keseluruh organ ditubuh apakah berfungsi dengan baik. Selain itu kita observasi tanda-tanda infeksi.

5) Sistem Gastrointestinal
Terpasang OGT/NGT dan pada sistem ini perlu dikaji bagaimana bising usus, palpasi abdomen, nyeri pada saat palpasi dan untuk mengetahui kemampuan sistem pencernaan dalam menyerap asupan nutrisi yang akan diberikan.

Post Operasi BCPS
a. Darah masih bercampur dan level saturasi oksigen masih rendah (±85%), tapi lebih baik dibandingkan pada pre-operasi (Myung K. Park, 2008).
b. Kongesti vena (tekanan SVC meningkat); pada leher, wajah, dan bagiat atas tubuh pasien terlihat bengkak dan sedikit memar selama beberapa hari, dapat iritasi untuk sementara waktu sampai tubuhnya mendapat sirkulasi baru.
c. Bersifat sementara
d. Diuretik digunakan untuk mengurangi efek
e. Kepala tempat tidur bayi ditinggikan sehingga gravitasi akan membantu mengalirkan darah ke paru-paru

Data Fokus
a. Saturasi oksigen
Pada pasien BCPS akan mengalami peningkatan saturasi oksigen yang berkisar ≥85%. Apabila saturasi turun ≤70%, hal ini dapat disebabkan karena terbukanya vena kolateral akibat dari dekompresi aliran darah tubuh bagian atas serta terbentuknya pulmonary arteriovenus fistula yang disebabkan oleh vasokontriksi pembuluh darah paru akibat prostaglandin yang disekresikan oleh hati. Dikatakan bahwa terapi aspirin berhasil untuk mencegah terbentuknya fistula tersebut. Sebaiknya 12 bulan pasca dilakukan tindakan BCPS, klien diharuskan untuk menjalani kateterisasi jantung untuk melihat terbentuk/tidaknya fistula/kolateral (Myung K. Park).

b. Oedema
Oedema diartikan sebagai akumulasi cairan di dalam ruang interstisial yang menimbulkan tekanan positif. Oedema dapat timbul karena peningkatan tekanan dalam kapiler, penurunan tekanan oncotic dalam kapiler, peningkatan tekanan oncitic di dalam interstisium (Long, 1996).
Biasanya pada pasien BCPS harusnya tidak terjadi edema di bagian tubuh bagian atas, akan tetapi ada periode dimana akan terjadi penumpukan cairan di area tubuh bagian atas atau lebih dikenal dengan SVC Syndrome. Hal ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan tekanan yang cukup tinggi antara SVC dengan PA, yang normalnya dari SVC ke RA. Keadaan ini hanya bersifat sementara sebagai respon adaptasi tubuh pasien.
Hal ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan yang cukup tinggi antara SVC dengan PA, yang normalnya dari SVC ke RA.

c. Nyeri
Nyeri adalah perasaan yang tidak nyaman yang benar-benar subyektif dan hanya orang yang mengalami yang dapat menjelaskan dan mengevaluasinya (Long, 1996).
Pada pasien post operasi pasti akan mengalami nyeri disekitar luka insisi. Hal ini diakibatkan oleh karena adanya pengeluaran/sekresi mediator kimia (prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin, substansi P dan lekotrein) akibat terjadiya kerusakan jaringan. Mediator kimia ini yang akan merangsang saraf nyeri di sekitar kulit yang terluka (serabut A-delta dan serabut C). Kemudian serabut saraf ini akan menghantarkan nyeri sampai ke otak dan dipersepsikan.

Menurut Myung K. Park, ada beberapa hal yang dapat terjadi pada anak yang telah menjalani operasi BCPS, diantaranya anak akan mengalami peningkatan saturasi oksigen yang berkisar ≥85%. Jika saturasi turun ≤70%, hal ini dapat disebabkan karena terbukanya vena kolateral akibat dari dekompresi aliran darah tubuh bagian atas serta terbentuknya pulmonary arteriovenus fistula yang disebabkan oleh vasokontriksi pembuluh darah paru akibat prostaglandin yang disekresikan oleh hati. Dikatakan bahwa terapi aspirin berhasil untuk mencegah terbentuknya fistula tersebut. Sebaiknya 12 bulan pasca dilakukan tindakan BCPS, klien diharuskan untuk menjalani kateterisasi jantung untuk melihat terbentuk/tidaknya fistula/kolateral.
Selain itu, pada anak post tindakan operasi BCPS juga akan mengalami SVC sindrom, dimana akan terjadi penumpukan cairan di area tubuh bagian atas, terutama area wajah, peningkatan JVP. Hal ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan tekanan yang cukup tinggi antara SVC dengan PA, yang normalnya dari SVC ke RA. Keadaan ini bersifat sementara.

JHC
Jakarta, 11 Mei 2014

Minggu, 04 Mei 2014

STEMI Indikasi Primary PTCA ((PERCUTANEUS TRANSLUMINAL CORONARY ANGIOPLASTY)

STEMI INDIKASI PRIMARY PTCA


  1. DEFINISI
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark. Infark Miokardium Akut (IMA) didefinisikan sebagai nekrosis miokardium yang disebabkan oleh tidak adekuatnya pasokan darah akibat sumbatan akut pada arteri koroner. Sumbatan ini mengakibatkan iskemia yang berlangsung lebih dari 30-45 menit.( Muttaqin, 2009).
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial Infarct) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri atas angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST.
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.
Infark miokard akut ST-elevasi (STEMI) merupakan oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG.

Pada STEMI disrupsi plak terjadi pada daerah yang lebih besar dan menyebabkan terbentuknya trombus yang fixed dan persisten yang menyebabkan perfusi miokard terhenti secara tiba-tiba yang berlangsung lebih dari 1 (satu) jam dan menyebabkan nekrosis miokard transmural.
Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik.PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolitik.
PTCA adalah suatu teknik memasukkan balon dengan panduan radiografik ke dalam arteri koroner untuk mengembangkan bagian arteri koroner yang menyempit (Diklat PJT RSCM, 2008, hlm 149). PTCA / PCI adalah suatu teknik untuk menghilangkan trombus dan melebarkan pembuluh darah koroner yang menyempit dengan memakai kateter balon dan seringkali dilakukan pemasangan stent. Tindakan ini dapat menghilangkan penyumbatan dengan segera, sehingga aliran darah dapat menjadi normal kembali, sehingga kerusakan otot jantung dapat dihindari (Majid, 2007, dalam Meilany, 2011).
  1. GEJALA
Infark miokard adalah kematian jaringan otot jantung yang ditandai dengan adanya :
  1. Sakit dada khas yang lama sakitnya lebih dari 30 menit.
  2. Tidak hilang dengan istirahat atau pemberian anti angina.
  3. Biasanya disebabkan oleh thrombus arteri koroner yang lokasi dan luasnya infark tergantung letak arteri koroner yang tersumbat.
  4. Kelainan EKG :
  1. Fase akut
Adanya gelombang Q patologis disertai adanya elevasi segmen ST atau hanya berupa elevasi segmen ST.
  1. Fase subakut atau recent
Adanya gelombang Q patologis disertai gelombang T terbalik.
  1. Fase old
Adanya gelombang Q patologis, segmen ST dan gelombang T sudah normal kembali.
Adapun untuk menentukan lokasi iskemia atau infark digunakan ketentuan sebagai berikut :
  1. Anterior kelainannya di V2-V4
  2. Anteroseptal kelainannya di V1-V3
  3. Anterolateral kelainannya di Lead I, AVL, V5, V6
  4. Extensive anterior kelainannya di Lead I, AVL, V1-V6
  5. Inferior kelainannya di Lead II, III, AVF
  6. Posterior kelainannya di V1-V2 (resiprokal)
  7. Ventrikel kanan kelainannya di V1, V3R, V4R
(Diklat PJT RSCM, 2008, hlm 148).
Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada substernum yang terasa berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang dijalarkan ke leher, rahang, epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya rasa tidak enak di dada. IMA sering didahului oleh serangan angina pektoris pada sekitar 50% pasien. Namun, nyeri pada IMA biasanya berlangsung beberapa jam sampai hari, jarang ada hubungannya dengan aktivitas fisik dan biasanya tidak banyak berkurang dengan pemberian nitrogliserin, nadi biasanya cepat dan lemah, pasien juga sering mengalami diaforesis. Pada sebagian kecil pasien (20% sampai 30%) IMA tidak menimbulkan nyeri dada. Silent AMI ini terutama terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien berusia lanjut.
Diagnosis IMA dengan elevasi segmen ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST >2 mm, minimal pada 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau >1 mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung terutama troponin T yang meningkat akan memperkuat diagnosis.
Pada pasien ST elevasi miokard infark, umumnya pemeriksaan fisik menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa beristirahat (gelisah) dengan ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat merupakan kecurigaan kuat adanya STEMI.
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat implementasi terapi reperfusi. Pemeriksaan petanda kerusakan jantung yang dianjurkan adalah creatinin kinase (CK) MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I, yang dilakukan secara serial. cTn digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB.
Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA serta tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai enzim diatas dua kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis jantung.
  1. CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
  2. cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu mioglobin, creatinine kinase (CK), Lacticdehydrogenase (LDH) Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosispolimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/ul.
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam waktu 10 menit sejak kedatangan di IGD sebagai landasan dalam menentukan keputusan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serian dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. EKG sisi kanan harus diambil pada pasien dengan STEMI inferior, untuk mendeteksi kemungkinan infark ventrikel kanan.
  1. SIMULASI PENERIMAAN PASIEN (PENANGANAN PRE PRIMARY PTCA)
Pasien-pasien yang tiba di UGD, harus segera dievaluasi karena kita berpacu dengan waktu dan bila makin cepat tindakan reperfusi dilakukan hasilnya akanlebih baik. Tujuannya adalah mencegah terjadinya infark miokard ataupun membatasi luasnya infark dan mempertahankan fungsi jantung. Manajemen yang dilakukan adalah sebagai berikut :
Dalam 10 menit pertama harus selesai dilaksanakan adalah:
  1. pemeriksaan klinis (kesadaran pasien), penilaian rekaman EKG 12 sadapan dan Tanda-tanda vital (Tekanan darah, Nadi, Saturasi Oksigen)
  2. periksa laboratorium meliputi enzim jantung CK/CKMB atau CKMB/cTnT, DPL, ureum creatinin, imunoserologi, PT-APTT dan GDS
  3. berikan segera: 02,pasang infus NaCl 0,9% atau dekstrosa 5%, (usahakan ditangan kiri)
  4. pasang monitoring EKG secara kontiniu,
  5. pemberian obat:
  1. nitrat sublingual/transdermal/nitrogliserin intravena titrasi (kontraindikasi bila TD sistolik < 90 mmHg), bradikardia (< 50 kali/menit), takikardia,
  2. aspirin 160-325 mg: bila alergi/tidak responsif diganti dengan dipiridamol,tiklopidin atau klopidogrel, dan
  3. mengatasi nyeri: morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap 5 menit sampai dosis total 20 mg atau petidin 25-50 mg intravena atau tramadol 25-50 mg intravena.
Selain tindakan tersebut juga dilakukan tindakan :
  1. Chest X-Ray: mungkin normal atau adanya cardiomegali, CHF, atau aneurisma ventrikiler.
  2. Echocardiogram : Mungkin harus di lakukan guna menggambarkan fungsi atau kapasitas masing-masing ruang pada jantung.
  3. Lakukan test allen jika puncture pada arteri radialis atau brachialis untuk persiapan primary PTCA
  4. Memberikan penjelasan tentang penyakit dan rencana tindakan yang akan dilakukan serta inform consent dengan dokter yang akan melakukan tindakan.
  5. Cukur daerah yang akan dipuncture, daerah inguinal sampai pangkal paha dan daerah pergelangan tangan kanan ( radial dan femoral .
  6. Pengkajian riwayat alergi, riwayat melena/perdarahan saluran cerna dan riwayat penyakit sebelumnya

  1. PENANGANAN TINDAKAN PRIMARY PTCA
  1. Administrasi
Administrasi sudah diselesaikan oleh keluarga pasien
  1. Penerimaan pasien dilaboratorium kateterisasi
  1. Menerima pasien dari IGD
  2. Identifikasi pasien
  3. Mengecek dokumentasi persiapan pra PTCA (hasil Lab, informed consend dll)
  4. Melakukan pengkajian awal pasien :Tekanan darah, nadi, saturasi, riwayat alergi, riwayat stroke, dan kesadaran pasien.

  1. Persiapan pre PTCA
  1. Memasukkan data pasien, hasil lab dan protocol pada computer hemodinamk dan computer angiografi
  2. Memasang lead EKG dan saturasi oksigen
  3. Dokumentasikan EKG awal dan saturasi di computer hemodinamik
  4. Memberikan premedikasi
  5. Melakukan skin test bila ada riwayat alergi
  6. Mempersiapkan instrument dan perlengkapan PTCA yang dibutuhkan
  7. Melakukan Scrubbing sebelum memulai tindakan PTCA
  8. Melakukan painting bilateral femoral dan/ atau radial dengan chlorhexidine berbasis alcohol
  9. Melakukan drapping
  10. Mempersiapkan kateter dan alat-alat lainnya
  11. Bertanggung jawab atas kelengkapan jumlah instrument dan kateter


  1. Tindakan PTCA
  1. Melakukan timeout
  2. Melakukan anestesi local
  3. Puncture arteri femoralis/radialis/brachialis
  4. Memberikan NTG/vasodilator lain (khusus akses radial dan brachial)
  5. Memasukkan kateter diagnostic JL dan JR/optitorque/castilo/AL dan / AR ssuai ukuran
  6. Merekam tekanan aorta awal
  7. Pengambilan gambaran arteri koroner (LCA dan RCA)
  8. Memilih guiding catheter yang sesuai
  9. Memberikan heparine (50 unit-100 unit per kg BB)
  10. Memilih wire koroner yang sesuai
  11. Melakukan pre dilatasi dengan ballon (jika diperlukan)
  12. ]melakukan aspirasi thrombus (jika diperlukan)
  13. Memberikan NTG/ vasodilator lain jika diperlukan
  14. Menentukan ukuran stent yang diperlukan
  15. Stent dikembangkan sesuai ukuran
  16. Melakukan post dilatasi dengan ballon non compliance (jika diperlukan)
  17. Evaluasi hasil dan komplikasi yang mungkin terjadi pada pembuluh darah koroner yang lain
  18. Mengobservasi hemodinamik selama proses corangiografi
  19. Merekam EKG dan tekanan aorta akhir
  20. Melaksanakan sign out
  21. Melakukan pencatatan pemakaian BMHP
  22. Merapikan lingkungan ruang cathlab


  1. Post procedure
  1. Mencabut dan memberhentikan perdarahan pada daerah kanulasi
  2. Melakukan observasi pasca tindakan meliputi Tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu, sturasi oksigen, nyeri.
  3. Mengkaji komplikasi yang mungkin muncul
  4. Operator membuat laporan hasil tindakan
  5. Membuat rekaman hasil tindakan dalam bentuk CD
  1. Transfer pasien
  1. Mengisi check list serah terima psien (khusus perawat)
  2. Mengisi lembar catatan terintegerasi (khusus dokter)
  3. Membantu dalam proses transfer pasien ke ruang perawatan
  4. Memindahkan psien oleh perawat cathlab
  5. Melakukan erah terima pasien dengan perawat ruang perawatan
  6. Memberikan informasi hasil tindakan pada keluarga.

  1. PENANGANAN POST PRIMARY PTCA
  1. Observasi tekanan darah dan nadi tiap jam selama 6 jam, lalu tiap 4 jam sampai pagi hari.
  2. Heparin drill 1000 unit/jam diberikan minimal 12 jam sesuaikan nilai hasil ACT.
  3. Periksa ACT tiap 4 jam setelah prosedur dan usahakan nilai ACT kurang dari 120 detik.
  4. Perhatikan tanda-tanda perdarahan ditempat penusukan.
  5. Perhatikan pulsasi nadi, khususnya sebelah distal tempat penusukan.
  6. Selesai prosedur dapat makan dan minum.

TREATMENT DI INTERMEDIATE WARD (IW) dan DI RUANG RAWAT
    1. Post tindakan hari ke 0 :
    1. Tindakan :
    1. Menerima pasien dari ruang cathlab
    2. Serah terima pasien dengan petugas cathlab, disertai:
    3. Form serah terima pasien dari ruang cathlab
    4. Hasil laporan PTCA
    5. Pasang lead ECG yang terhubung ke monitor serta rekam EKG 12 lead
    6. Pasang bantal pasir diatas luka puncture ( arteri femoralis ) selama 6-7 jam
    7. Jika belum aff shit, cek ACT tiap 2 jam. Jika ACT < 200 sec shit boleh di aff
    8. Observasi kesadaran pasien dan keluhan nyeri dada
    9. Berikan therapy O2 ( sesuai order dokter )
    10. Penjelasan kepada keluarga perawatan post PTCA
    11. Observasi hemodinamik tiap 15 menit pada 1 jam pertama, dan tiap setrengah jam pada jam kedua, selanjutnya setiap jam bila hemodinamik stabil
    12. Observasi perfusi, suhu pada ekstremitas yang terdapat luka puncture, pulsasi pada daerah distal luka puncture ( bandingkan kanan dan kiri )
    13. Observasi adanya hematoma atau perdarahan pada luka puncture
    14. Observasi intake dan output
    15. Aff nichiban ( puncture di arteri radialis atau brachialis ) setrelah 4-6 jam
    16. Melaporkan pada dokter jika ada kelainan dari hasil observasi
    17. Follow up dokter kardiologi ( form catatan medis )


    1. Pemeriksaan penunjang :
    Pemeriksaan DPL post PTCA sesuai order dokter
    1. Aktivitas :
    1. Immobilisasi ekstremitas yang terdapat luka puncture ( femoral ) selama 6 jam
    2. Immobilisasi tangan yang terdapat luka puncture selama 4 jam
    1. Nutrisi :
    Pasien boleh makan dan anjurkan untuk banyak minum
    1. Pendidikan :
    1. Penejelasan pada keluarga tentang hasil PTCA serta rencana selanjutnya
    2. Motivasi pasien untuk banyak minum ( dibantu keluarga ) yang bertujuan untuk mengeluarkan zat kontras selama tindakan PTCA
    3. Libatkan keluarga untuk immobilisasi daerah yang terdapat luka puncture
    1. Obat-obatan:
    1. Obat antibiotic IV/oral
    2. Atur maintenance cairan IV
    3. Konfirmasi dokter tentang obat-obatan yang diberikan setelah primary PTCA
    1. Outcome:
    1. Hemodinamik stabil, afebris
    2. Pulsasi daerah distal dari luka puncture adekuat
    3. Tidak ada perdarahan dan homatoma pada daerah luka puncture
    4. Ekstremitas yang terdapat luka puncture teraba hangat perfusi baik
    5. Hasil DPL dalam batas normal
    6. Keluarga pasien memahami penjelasan dokter tentang hasil PTCA

    1. Post tindakan hari pertama:
    1. Administrasi:
    Mengurus jaminan pulang
    1. Tindakan;
    1. TTV/4 jam serta rekam EKG 12 lead
    2. Ganti balutan post PTCA
    3. Aff IV line
    4. Visit dokter kardiologi dan konfirmasi rencana tindakan selanjutnya
    5. Buat resume pulang oleh dokter kardiologi
    6. Bila ada perencanaan operasi konfirmasi ke bagian penjadwalan operasi
    7. Pendidikan:
    8. Kaji ulang kejelasan hasil PTCA yang diterima keluarga pasien dan rencana selanjutnya
    9. Perawatan luka puncture dan aktifitas selama dirumah
    10. Jika direncanakan untuk operasi, jelaskan pada keluarga selama menunggu jadwal operasi untuk mempersiapkan kondisi pasien sebaik mungkin, menjaga makan dan kesehatan selama dirumah
    1. Nutrisi:
    Makanan biasa dengan diet TKTP
    1. Obat-obatan:
    1. Stop antibiotic
    2. Konfirmasi pada dokter kardiologi tenteng obat-obatan yang perlu dilanjutkan dirumah
    1. Outcome:
    1. Hemodinamik stabil, afebris
    2. Keluarga pasien mengerti tentang cara perawatan luka dirumah, dan mengerti tentang pentingnya menjaga kondisi pasien sebaik mungkin untuk persiapan operasi
    3. Luka puncture kering, tidak adad hematoma, perdarahan atau tanda-tanda infeksi.
    1. Table pencatatan varian:
    Varian adalah segala sesuatu yang terjadi diluar standar tindakan dan menyimpang dari outcome yang diharapkan. Table pencatatan varian meliputi tanggal terjadi, waktu, varian yang terjadi, mengapa terjadi, implementasi, evaluasi dan paraf.
    1. OBAT-OBATAN YANG WAJIB DISEDIAKAN
    ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua pasien dengan STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-platelet (aspirin, clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated Heparin (UFH) / Low Molecular Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin Receptor Blocker
    1. Anti trombotik
    Antiplatelet dan antitrombin yang digunakan selama fase awal STEMI berperan dalam memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Menurut penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan mortalitas vaskuler sebesar 23% dan infark non fatal sebesar 49%.
    Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi trombosis pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL membandingkan abciximab dan stenting dengan placebo dan stenting, dengan hasil penurunan kematian, reinfark, atau revaskularisasi segera pada 20 hari dan 6 bulan pada kelompok abciximab dan stenting.
    Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah unfractionated heparin (UFH). UFH intravena yang diberikan sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif, membantu trombolisis dan memantapkan serta mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg (maksimum 4000U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam). Activated partial thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.
    Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung kongestif, riwayat emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru sistemik dan harus mendapatkan terapi antitrombin kadar terapetik penuh (UFH atau LMWH) selama dirawat, dilanjutkan terapi warfarin minimal 3 bulan.

    1. Thienopiridin
    Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin untuk pasien dengan hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien dengan STEMI yang menjalani reperfusi primer atau fibrinolitik.
    Penelitian Acute Coronary Syndrome (ACOS) registry investigators mempelajari pengaruh clopidogrel di samping aspirin pada pasien STEMI yang mendapat perawatan dengan atau tanpa terapi reperfusi, menunjukkan penurunan kejadian kasus jantung dan pembuluh darah serebral (kematian, reinfark non fatal, dan stroke non fatal). Manfaat dalam penurunan kematian terbesar pada kelompok pasien tanpa terapi reperfusi awal (8%), yang memiliki angka kematian 1 tahun tertinggi (18%)

    1. Penyekat Beta
    Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat yaitu manfaat yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Penyekat beta intravena memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.
    Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien termasuk yang mendapatkan terapi inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik, atau riwayat asma).

    1. Inhibitor ACE
    Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan memberikan manfaat terhadap penurunan mortalitas dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE pada pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark sebelumnya, dan atau fungsi ventrikel kiri menurun global). Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark.
    Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global, atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif.

    1. KOMPLIKASI YANG DAPAT TERJADI
    Komplikasi yang dapat terjadi pada keadaan STEMI tanpa tindakan reperfusi diantaranya :
    1. Disfungsi Ventrikular
    Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodelling ventricular yang sering mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.
    1. Gangguan Hemodinamik
    Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya.
    1. Syok kardiogenik
    Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90% terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.
    1. Infark ventrikel kanan
    Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi
    1. Aritmia paska STEMI
    Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di zona iskemi miokard
    1. Ekstrasistol ventrikel
    Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir semua pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam mencegah aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI
    1. Takikardia dan fibrilasi ventrikel
    Takikardi dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia sebelumnya dalam 24 jam pertama.
    1. Fibrilasi atrium
    2. Aritmia supraventrikular
    3. Asistol ventrikel
    4. Bradiaritmia dan Blok
    5. Komplikasi Mekanik
    Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventrikel.
    Meskipun PTCA bermanfaat untuk melebarkan pembuluh darah yang menyempit, dalam kenyataannnya juga memiliki komplikasi. Komplikasi dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu yang secara umum berkaitan dengan kateterisasi arteri dan yang berhubungan dengan teknologi yang spesifik yang digunakan untuk prosedur pada koroner (AHA, 2001, dalam Meilany, 2011).
    1. Trombolisis stent
    Walaupun angka kejadian hanya 1-2%, kejadian trombolisis stent masih berisiko sehingga stent harus itu dilapisi oleh endothelium dan hal tersebut biasanya muncul sebagai MI akut, dengan tingkat kematian tinggi. Trombolisis stent sering sewaktu bulan pertama pemasangan, tapi bisa muncul berbulan dan bertahun setelah pemasangan PTCA.
    1. Stenosis stent
    Hal ini berhubungan dengan proses penyembuhan yang berlebihan dari dinding pembuluh darah yang bertimbun pada lumen stent. Stenosis biasanya terbentuk dalam 3-6 bulan dan tidak jarang angina muncul kembali, tetapi jarang menyebabkan MI. Stenosis stent terjadi dalam 4-20% dari stent.
    1. Komplikasi mayor
    Komplikasi mayor lain termasuk kejadian yang jarang, tetapi bisa mengakibatkan kematian (0,2% dalam kasus berisiko tinggi), MI akut (1%) yang mungkin memerlukan CABG darurat, stroke (0,5%), tamponade jantung (0,5%) dan perdarahan sistemik (0,5%). Kematian terjadi saat proses di rumah sakit. Stroke terjadi saat otak kehilangan fungsi neurologis yang disebabkan oleh iskemik 24 jam setelah onset.
    1. Komplikasi minor
    Komplikasi minornya adalah alergi terhadap medium kontras, nefropati dan komplikasi pada bagian yang dimasuki, seperti perdarahan dan hematoma. Gagal ginjal meliputi terjadinya peningkatan serum kreatinin lebih 2 mg/dl.(Butman, 2005, dalam Meilany, 2011)



    Faktor-faktor keberhasilan atau terjadinya komplikasi adalah sebagai berikut :
    1. Faktor anatomi
    Morfologi lesi dan keparahan stenosis diidentifikasikan sebagai faktor keberhasilan PTCA.
    1. Faktor klinis
    Kondisi klinis dapat mempengaruhi tingkat keparahan. Misalnya, terjadi komplikasi 15,4% pada pasien dengan diabetes mellitus dan hanya 5,8% pada pasien yang tidak terkena diabetes mellitus. Faktor-faktor ini meliputi usia, jenis kelamin, angina yang tidak stabil, gagal jantung kongestif dan diabetes.
    1. Risiko kematian
    Kematian pasien yang mendapat tindakan PTCA berhubungan dengan oklusi, diabetes, dan infark miokardium.
    1. Wanita
    Dibandingkan dengan laki-laki, wanita yang mendapat tindakan PTCA memiliki insiden lebih tinggi mendapatkan hipertensi dan hiperkolestrolemia.
    1. Usia lanjut
    Usia diatas 75 tahun merupakan kondisi klinis yang cukup besar dihubungkan dengan peningkatan risiko mendapatkan komplikasi.
    1. Diebetes mellitus
    Dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami diabetes mellitus, pasien diabetes mellitus memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi.
    1. Faktor hemodinamik
    Perubahan tekanan darah dapat dihubungkan dengan LV ejection fraction dan risiko rusaknya miokardium (AHA, 2001, dalam Meilany, 2011)