A. Konsep Bidirectional Cavo Pulmonary Shunt (BCPS)
1. Pengertian
BCPS
adalah tindakan bedah paliatif yang memisahkan hubungan antara vena
cava superior dengan atrium dan mengalirkannya ke kedua arteri
pulmonalis. Metode ini mampu menambah aliran darah ke paru tanpa
membebani ventrikel atau mengakibatkan penyakit vaskuler paru. (Bojar,
1999).
Prosedur BCPS dilakukan dengan membuat sambungan antara vena
besar yaitu Superior Vein Cava (SVC) dengan right pulmonary artery
sehingga darah tidak melewati ruang jantung kanan dan mengalir langsung
ke arteri pulmonalis untuk dioksigenasi. Secara umum prosedur ini
dilakukan ketika right ventrikel atau left ventrikel lebih kecil dari
normal atau rusak sehingga tidak mampu untuk memompakan darah ke seluruh
tubuh atau paru.
Pada tindakan ini, darah vena yang berasal dari
kepala dan tubuh bagian atas akan dihubungkan langsung ke paru-paru
dengan di bypass (dipotong) ke ventrikel kanan. Sedangkan darah vena
dari tubuh bagian bawah akan diteruskan mas uk ke jantung. Prosedur BCPS
merupakan operasi jantung yang dipersiapkan untuk prosedur Fontan.
Operasi ini dilakukan dengan sayatan di dada, namun bukan merupakan
operasi jantung terbuka (Severin’s Journey, 2004).
2. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dan manfaat dilakukannya operasi BCPS (Severin’s Journey, 2004) diantaranya :
a. Menambah aliran darah ke paru tanpa membebani ventrikel atau mengakibatkan penyakit vaskuler paru.
b. Meningkatkan saturasi oksigen arteri
c.
Menurunkan kerja ventrikel sehingga tidak menyebabkan penebalan dan
kekakuan pembuluh darah paru (menurunkan load single ventricel)
d. Langkah awal sebelum dilakukan operasi Fontan
3. Indikasi
Indikasi ilakukannya operasi paliatif BCPS menurut Myung K. Park dalam Pedatric Cardiology for Practitioners diantaranya:
a. Single ventricle
Pada
keadaan hanya terdapat satu ventrikel, kedua atrium akan mengalirkan
darahnya melalui katup arterioventrikular hanya pada satu ventrikel
saja. Ventrikel yang ada tersebut bisa kiri, kanan, ataupun mempunyai
karakteristik dari keduanya. Aorta dan arteri pulmonal mendapatkan
kiriman darah dari satu ventrikel tersebut. Kelainan ini biasanya
diikuti dengan stenosis atau atresia pulmonal (Behrman, 1996).
Tanda
dan gejala tergantung dari banyaknya kelainan jantung dan keeadaan
hemodinamik pasien. Jika aliran darah ke paru terhambat, keadaan klinis
akan sama atau mirip dengan tetralogi of fallot dimana akan mengalami
sianosis tanpa kegagalan jantung. namun jika aliran darah ke paru tidak
mengalami sumbatan, sianosis yang terjadi tidak parah/berat dan gagal
jantung (Sastroasmoro, 1994).
b. Atresia tricuspid
Trikuspid
atresia adalah penyakit jantung bawaan dimana tidak adanya katup
trikuspid oleh kerena itu tidak ada koneksi atrioventikuler (komunikasi
antara atrium kanan dan ventrikel kanan). Maka dari itu, kelangsungan
hidup pasien bergantung pada adanya defek septum atrium atau foramen
ovale, yang juga merupakan jalan darah dari atrium kanan ke jantung
kiri. (Behrman, 1996).
Lima puluh persen pasien dengan atresia
trikuspid menunjukkan gejala sianosis atau bising setelah lahir. Apabila
aliran darah ke paru berkurang maka pasien tampak sianotik, makin
sedikit darah ke paru makin jelas sianosisnya. Bila tidak disertai
atresi pulmonal masih terdengar bising sistolik di daerah parasternal
kiri. Apabila aliran darah ke paru cukup atau bertambah, maka sianosis
hanya ringan, dan gejala yang menonjol adalah gagal jantung. Bila tidak
terdapat defek septum ventrikel maka aliran darah ke paru didapatkan
dari duktus arteriosus persisten atau arteri bronkhial. 85% pasien
dengan atresia trikuspid terdiagnosis pada usia di bawah 2 bulan. Pasien
dengan atresia trikuspid mempunyai resiko penutupan VSD secara spontan
sehingga dapat mengakibatkan gejala sianosis yang parah (Behrman, 1996)
c. Hypoplastic left heart syndrome (Norwood : stage II)
Keadaan
ini menggambarkan keadaan dimana tidak tumbuh/berkembangnya jantung
bagian kiri. Ventrikel kiri berukuran kecil tidak berfungsi sehingga
ventrikel kanan yang bertanggung jawab atas sirkulasi pulmonal dan
sistemik. Katup aorta dan mitral mengalami atresia. Darah dari vena
pulmonal akan menuju jantung kanan melalu defek atrium dan foramen ovale
sehingga akan bercampur dengan darah dari vena sistemik. Jika tidak
terdapat defek pada ventrikel, maka semua darah dari ventrikel kanan
akan di pompakan ke arteri plmonal. Aorta desenden mendapatkan suplai
darah dari duktus arterious, aliran ini juga akan mengisi aorta asenden
dan arteri koronari (Behrman, 1996).
Walaupun sianosis tidak selalu
nampak pada 48 jam pertama setelah kelahiran, tetapi warna biru pada
tubuh dapat terlihat. Kebanyakan bayi terdiagnosa pada beberapa jam atau
beberapa hari setelah lahir. Jika duktus arterious sebagian tertutup,
Gejala dari hipoperfusi sistemik dan shock mulai terlihat. Gejala gagal
jantung kongestif dapat terlihat pada minggu pertama kelahiran, disertai
dipsneu, hepatomegali dan penurunan kardiak output. Biasanya pulsasi
perifer sangat lemah bahkan tidak ada. Saat dilakukan auskultasi,
terdengar murmur sistolik (Behrman, 1996).
d. Pulmonary atresia with intak seftal ventrikel
Pulmonary
atresia adalah cacat bawaan sejak lahir yang terjadi akibat
perkembangan abnormal dari jantung janin selama delapan minggu pertama.
Pulmonary atresia merupakan penyakit jantung bawaan dengan malformasi
pulmonary artery valve dimana katub gagal untuk mengembang sehingga
menghalangi aliran darah dari jantung ke paru (Behrman, 1996).
Karena
terdapat atresia pulmonal dan tidak terdapat defek septum ventrikel,
maka darah dari ventrikel kanan tidak dapat keluar. Dari atrium kanan
darah menuju ke atrium kiri melalui defek septum atrium atau foramen
ovale. Satu-satunya jalan darah ke paru adalah melalui duktus arteriosus
atau sirkulasi bronkhial. Biasanya terdapat insufisiensi trikuspid.
Sianosis
telah jelas tampak pada waktu bayi lahir yang terus bertambah pada
hari-hari pertama bahkan kebanyakan meninggal dalam waktu satu minggu
setelah kelahiran. Bayi sesak dengan gejala gagal jantung. Pada
auskultasi suara jantung dua (S2) terdengar tunggal dan pelan, biasanya
tidak terdapat murmur. Continous murmur atau sistolik murmur bisa
terdengar pada aliran darah pada duktus (Behrman, 1996).
B. Asuhan Keperawatan
1. Pre Operasi (BCPS)
a. Pengkajian
1) Identitas
Data
identitas klien sangat penting untuk diketahui sebagai data dasar klien
sebelum kita melakukan pemeriksaan. Data ini pula dapat dipakai oleh
perawat dalam melakukan intervensi keperawatan kepada klien. Yang
termasuk di dalam identitas klien diantaranya nama, jenis kelamin, usia
& tempat tanggal lahir, alamat, nomor medrek.
2) Keluhan Utama
Keluhan
utama pada penyakit jantung bawaan diantarnya yang paling sering adalah
klien mengeluhkan sesak nafas, cepat lelah, kebiruan pada daerah
perifer atau mukosa, gagal tumbuh dan sering mengalami batuk pilek
berulang.
3) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada penyakit trikuspid
atresia, pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah pengkajian sianosis,
dengan atau tanpa clubbing, getaran sistolik jarang teraba pada pulmonal
stenosis, suara jantung S2 normal, terdengan murmur holosistolik jika
terdapat atresia trikuspid dengan VSD. Sedangkan murmur kontinus
terdengar bila trikuspid atresia disertai dengan PDA. Selain itu
pemeriksaan yang harus dilakukan adalah adanya hepatomegali bila
kumonikasi interatrial tidak adekuat (Myung K. Park, 2008).
Pemeriksaan
fisik untuk pulmonal atresia dengan infact ventricular septum
diantaranya, adanya sianosis berat dan takipnea biasanya terjadi pada
distress neonates, suara jantung (S2 normal atau biasanya tidak ada),
murmur terdengar pelan pada trikuspid regurgitasi, dan murmur kontinu
dapat terdengar bila terdapat PDA, dan kaji jiga adanya hepatomegali
bila komunikasi interatrial tidak adekuat (Myung K. Park, 2008).
Pada
HLHS (hypoplastic left heart syndrome), gejala akan nampak beberapa jam
setelah bayi lahir, yaitu adanya takikardi, dispnea, suara paru
krakels, nadi perifer teraba lemah, dan vasokonstriksi pada ekstremitas,
pada pasien HLHS tidak tampak adanya cianosis berat, tetapi tampak biru
keabu-abuan akibat perfusi ke jaringan yang tidak baik. Selain itu pada
HLHS terdengar suara S2 normal dank jelas, murmur tidak terdengar,
murmur ejeksi fraksi sistolik terdengar nonspesifik di atas prekordium,
dan adanya gejala pada CHF, yaitu adanya hepatomegali dan terdengar
gallop (Myung K. Park, 2008).
Pada kelainan single ventricle,
terdapat peningkatan aliran darah ke paru, hal tersebut biasanya juga
ditemukan pada kelainan TGA dan VSD besar dengan gejala, sianosis ringan
dan CHF, serta keterlambatan tumbuh kembang yang muncul pada bayi baru
lahir. Suara jantung S2 terdengar normal, murmur sistolik terdengar di
parasternal kiri, dan suara S3 di bagian apeks. Murmur diastolic paada
pulmonal regurgitasi terdengar di parasternal kiri atas akibat dari
pulmonal hipertensi. Pada kelainan single ventricle, juga terdapat
peurunan aliran darah ke paru, hal tersebut biasanya juga ditemukan pada
kelainan TOF.sianosis tampak sdang sampai berat, CHF tidak tampak,
clubbing finger
mungkin terlihat pada bayi dan anak-anak. Bunyi jantung
S2 terdengar normal dan jelas, grade 2 sampai 4/6 murmur ejeksi sistolik
dapat terdengar di kanan atas atau parasternal kiri (Myung K. Park,
2008).
4) Riwayat kesehatan Dahulu
Pada kelainan trikuspid
atresia tanyakan adanya sianosis berat sejak lahir, takipneau, sedikit
makan/minum, riwayat spell hipoksia pada bayi baru lahir (Myung K. Park,
2008).
Pada kelainan HLHS (hypoplastic left heart syndrome) edema
pulmonal dan CHF berkembang pada minggu pertama kelahiran, shock
sirkulasi dan hipoksemia serta asidosis dapat menyebabkan kematian pada
bulan pertama kelahiran (Myung K. Park, 2008).
Pada pulmonal atresia kaji riawyat sianosis berat sejak kelahiran (Myung K. Park, 2008).
Pada
kelainan single ventrikel, tanyakan riwayat sianosis dengan derajat
yang berbeda sejak lahir, riwayat gangguan tumbuh kembang atau pnemounia
pada bayi baru lahir dengan peningkatan aliran darah ke paru (Myung K.
Park, 2008).
5) Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Pada penyakit
jantung bawaaan, sangat erat kaitannya dengan riwayat kehamilan terutama
pada trimester pertama yaitu dimana pembentukan jantung mulai pada
minggu ke-empat (Behrman, 1996). Perlu kita kaji bagaiamna proses
kehamilan pada trimester pertama, apakah pada saat hamil ibu klien
mengalami penyakit infeksi, mempunyai kebiasaan minum minuman keras,
atau pernah/sering mengkonsumsi obat-obatan/jamu. Penting juga mengkaji
bagaimana riwayat kelahiran bayi, apakah normal atau tidak, apakah
setelah lahir bayi langsung menangis atau tidak, apakah tanda kebiruan
pada bayi ada sejak bayi lahir atau setelah beberapa hari/bulan baru
muncul, bagaimana keadaan fisik bayi, adakah kelainan bawaan lain,
berapa berat badan klien saat lahir.
6) Riwayat Kesehatan Keluarga
Dikaji
terutama kondisi kesehatan ibu dari klien. Apakah ibu kilen menderita
penyakit jantung bawaan saat masih kecil, apakah menderita diabetes
mellitus, berapa umur ibu saat hamil. Selain itu kaji juga apakah ada
anak yang sebelmunya menderita penyakit jantung bawaan, apakah ayah dari
klien juga pernah mengalami penyakit jantung bawaan.
7) Riwayat Psikososiospiritual
Kaji
bagaimana riwayat psikologis, sosial, dan spiritulal klien (jika
memungkinkan) juga keluarga klien. Apakah dengan sakitnya, klien ataupun
keluarga mengalami gangguan psikososiospiritual.
8) Riwayat Tumbuh Kembang
Pada
penyakit jantung bawaan, kebanyakan anak akan mengalami gangguan tumbuh
kembang. Keadaan ini dapat dikaji dengan menggunakan alat skrining
perkembangan salah satunya dengan metode Denver.
9) Pola ADL
Kaji aktivitas harian klien meliputi pola makan & minum, eliminasi, istirahat & tidur, ativitas bermain.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Antropometri
Ukur
berat dan tinggi badan. Sesuaikah ukuran tersebut dengan usia klien.
Berat badan dan tinggi badan juga akan berpengaruh pada pemberian
nutrisi dan obat-obatan
2) Tanda-tanda vital
Ukur tanda-tanda
vital, diantaranya heart rate, respirasi rate, temperature, tekanan
darah, saturasi oksigen, nyeri jika ada. Hal ini sangat penting apalagi
pada klien dengan gangguan jantung. perubahan tanda-tanda vital tersebut
dapat menggambarkan hemodinamik klien dimana hal ini sangat berkaitan
erat dengan keadaan jantung dan paru klien.
c. Pemeriksaan Diagnostik
1) Elektrokardiogram (EKG)
Elektrokardiogram
merupakan suatu grafik yang menggambarkan aktivitas listrik jantung.
Pada klien dengan kelain jantung tricuspid atresia, gambaran EKG
menunjukkan deviasi sumbu ke kiri (left axis deviation) dengan
hipertrofi ventrikel kiri. Kombinasi left axis deviation dan sianosis
merupakan gejala khusus pada atresia trikuspid. Selain itu juga terdapat
pembesaran atrium kanan (P mitral) (Behrman, 1996).
Pada klien
dengan single ventrikel EKG tidak dapat menggambarkan adanya kelaianan
ini secara spesifik. Namun biasanya bisa terlihat hipertropi ventrikel
(Behrman, 1996).
Pada klien dengan HLHS dapat memperlihatkan hanya
didominasi ventrikel kanan, gelombang P menjadi prominen dan biasanya
terdapat hipertropi ventrikel kanan (Behrman, 1996).
Pada klien
dengan pulmonal atresia, QRS axis normal, tampak pembesaran ventrikel
kiri, pembesaran ventrikel kanan pada bayi baru lahir, pada 70% kasus
umumnya terjadi pembesaran atrium kanan (Behrman, 1996).
2) Ekokardiogram
Ekokardiogram
merupakan pemeriksaan non invasive dengan menggunakan ultrasound untuki
menilai struktur anatomi jantung dan pembuluh darah jantung, fungsi
serta hemodinamiknya (Behrman, 1996).
Pada klien dengan atresia
tricuspid ekokardiografi 2-dimensi menunjukkan katup trikuspid atretik.
Ventrikel kanan kecil atau sama sekali tidak ada, sedangkan katup mitral
normal dengan annulus yang terdialatasi. Ventrikel kiri besar dengan
dinding yang menebal (Behrman, 1996).
Pada klien dengan single
ventrikel, pemeriksaan ekokardiografi dapat terlihat adanya satu
ventrikel, apakah hanya ventrikel kanan saja atau kiri saja atau
morfologinya mirip keduanya. Juga bisa terdeteksi arah aliran darah dari
ventrikel tersebut (Behrman, 1996).
Pada klien dengan HLHS
ekokardiogram dapat memperlihatkan atresia atau hipoplasia katup mitral
dan aortic, ukuran atrium dan ventrikel kiri (kecil), ukuran atrium dan
ventrikel kanan (besar), dan mengidentifikasi katup trikuspid.
Pemeriksaan dengan menggunakan dopler memperlihatkan adanya aliran
retrograt yang berasal dari duktus arterious (Behrman, 1996).
Pada
klien dengan pulmonal atresia dapat ditemukan a) penebalan, stenosis,
dan tanpa adanya aliran darah ke paru mealui katup pulmonal, b)
hipertrofi venrtikel kanan, c) pengecilan katup trikuspid, d) terjadinya
right to left shunt melalui ASD, e) adanya aliran darah pada ductus
arteriosus dari arcu aorta ke pulmonal arteri (Behrman, 1996).
3) Chest x-ray
Pada
klien dengan tricuspid atresia jantung biasanya normal, namun apeks
tidak terangkat dan batas jantung kiri agak persegi (square shape).
Bayangan jantung di kanan bawah paravertebra nampak kurang. Corakan
vaskular paru menurun kecuali bila terdapat defek septum ventrikel besar
(Behrman, 1996).
Pada klien dengan single ventrikel, gambaran rongen
menunjukan pembesaran jantung. Pada kasus yang disertai stenosis
pulmonal maka terlihat adanya penurunan vaskularisasi paru sedangkan
pada kasus tanpa stenosis pulmonal menunjukkan peningkatan vaskularisasi
paru (Behrman, 1996).
Pada klien dengan HLHS, rongen dada dapat memperlihatkan peningkatan vaskularisasi paru dan pembesaran jantung (Behrman, 1996).
Pada
klien dengan pulmonal atresia, ukuran jantung dapat terlihat normal
atau membesar akibat pembesaran atrium kanan, penurunan aliran darah ke
paru yang ditandai dengan gambaran ruang paru yang gelap, MPA tampak
cekung (Behrman, 1996).
4) Hematologic: PT, PTT, platelet count (elevated PT and PTT are common in cyanotic children)
5) Chemistry: electrolytes, BUN, creatinine, glucose, calcium (in neonates), drug levels (e.g., digoxin)
6) Urinalysis
7)
Kateterisasi jantung dan angiografi diperlukan untuk memastikan anatomi
dan ukuran arteri pulmonalis. Ventrikel kanan tidak dapat dicapai
kateter, dan kateter mudah masuk dari atrium kanan ke atrium dan
ventrikel kiri. Pada penyuntikan kontras di atrium kanan maka seluruh
kontras tersebut masuk ke atrium kiri, kemudian ke ventrikel kiri. Dari
ventrikel kiri ini kontras melalui defek septum ventrikel ke ventrikel
kanan, kemudian ke arteri pulmonalis (Behrman, 1996).
2. Post Operasi (BCPS)
a. Pengkajian
1) Identitas : nama, jenis kelamin, usia, alamat, NRM, diagnosa dan pekerjaan ( untuk pasien dewasa)
2) Keluhan Utama
Pasien post operasi akan berada dibawah pengaruh sedasi sehingga mengalami penurunan kesadaran
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Dalam tahap ini dijelaskan kondisi pasien secara garis besar mulai dari awal dioperasi sampai dipindahkan di ruang ICU
4) Pola ADL
Setelah
pasien datang dari ruang operasi kaji aktivitas harian klien meliputi
pola makan&minum, eliminasi, istirahat& tidur, ativitas bermain
(pasien sadar)
b. Pemeriksaan Fisik
1) Sistem Pernafasan
Pengkajian
terhadap status respirasi bertujuan untuk mengetahui secara dini tanda
dan gejala tidak adekuatnya ventilasi dan oksigenasi. Perawat mengkaji
status respirasi pasien selama operasi, ukuran endotrakeal tube, masalah
yang dihadapi selama intubasi, lama penggunaan alat mesin jantung paru.
Selanjutnya kaji gerakan dada, suara nafas, setting ventilator
(frekuensi, volume tidal, konsentrasi oksigen, Mode, PEEP), kecepatan
nafas, tekanan ventilator, saturasi oksigen, AGD.
2) Sistem Cardiovaskuler
Meliputi
frekuensi dan irama jantung, tekanan darah arteri, tekanan vena sentral
(CVP), tekanan arteri paru, tekanan balik paru (PCWP), bentuk gelombang
pada tekanan darah invasive, curah jantung dan cardiac index, drainase
rongga dada, fungsi pacemaker. Selain itu, diperlukan pemantauan
pengeluaran semua selang drainase, parameter curah jantung, dan indikasi
ketidakseimbangan elektrolit. Karena pada pasien post operasi akan
terpasang selang drainase untuk mengetahui terjadinya perdarahan. Pantau
adanya tanda-tanda SVC syndrom dan pemantauan intake dan output (pasien
post operasi dengan on CPB akan dibatasi jumlah cairann perhari)
3) Sistem Neurologis
Tingkat
responsifitas, ukuran pupil dan reaksi terhadap cahaya, reflex, gerakan
ekstremitas, dan kekuatan genggaman tangan. Selain itu kita gunakan
pengkajian dengan sedasion score, kita bisa mengobservasi lewat ekspresi
wajah dan gerak pasien.
4) Sistem Genitourinari
Pasien post
operasi biasanya terpasang kateter urine untuk monitoring pengeluaran
urine, berat jenis urine, dan osmolalitas penting untuk dilakukan
pengkajian dan pemantauan secara terus menerus karena berkaitan dengan
sirkulasi darah keseluruh organ ditubuh apakah berfungsi dengan baik.
Selain itu kita observasi tanda-tanda infeksi.
5) Sistem Gastrointestinal
Terpasang
OGT/NGT dan pada sistem ini perlu dikaji bagaimana bising usus, palpasi
abdomen, nyeri pada saat palpasi dan untuk mengetahui kemampuan sistem
pencernaan dalam menyerap asupan nutrisi yang akan diberikan.
Post Operasi BCPS
a.
Darah masih bercampur dan level saturasi oksigen masih rendah (±85%),
tapi lebih baik dibandingkan pada pre-operasi (Myung K. Park, 2008).
b.
Kongesti vena (tekanan SVC meningkat); pada leher, wajah, dan bagiat
atas tubuh pasien terlihat bengkak dan sedikit memar selama beberapa
hari, dapat iritasi untuk sementara waktu sampai tubuhnya mendapat
sirkulasi baru.
c. Bersifat sementara
d. Diuretik digunakan untuk mengurangi efek
e. Kepala tempat tidur bayi ditinggikan sehingga gravitasi akan membantu mengalirkan darah ke paru-paru
Data Fokus
a. Saturasi oksigen
Pada
pasien BCPS akan mengalami peningkatan saturasi oksigen yang berkisar
≥85%. Apabila saturasi turun ≤70%, hal ini dapat disebabkan karena
terbukanya vena kolateral akibat dari dekompresi aliran darah tubuh
bagian atas serta terbentuknya pulmonary arteriovenus fistula yang
disebabkan oleh vasokontriksi pembuluh darah paru akibat prostaglandin
yang disekresikan oleh hati. Dikatakan bahwa terapi aspirin berhasil
untuk mencegah terbentuknya fistula tersebut. Sebaiknya 12 bulan pasca
dilakukan tindakan BCPS, klien diharuskan untuk menjalani kateterisasi
jantung untuk melihat terbentuk/tidaknya fistula/kolateral (Myung K.
Park).
b. Oedema
Oedema diartikan sebagai akumulasi cairan di
dalam ruang interstisial yang menimbulkan tekanan positif. Oedema dapat
timbul karena peningkatan tekanan dalam kapiler, penurunan tekanan
oncotic dalam kapiler, peningkatan tekanan oncitic di dalam interstisium
(Long, 1996).
Biasanya pada pasien BCPS harusnya tidak terjadi
edema di bagian tubuh bagian atas, akan tetapi ada periode dimana akan
terjadi penumpukan cairan di area tubuh bagian atas atau lebih dikenal
dengan SVC Syndrome. Hal ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan
tekanan yang cukup tinggi antara SVC dengan PA, yang normalnya dari SVC
ke RA. Keadaan ini hanya bersifat sementara sebagai respon adaptasi
tubuh pasien.
Hal ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan yang cukup tinggi antara SVC dengan PA, yang normalnya dari SVC ke RA.
c. Nyeri
Nyeri
adalah perasaan yang tidak nyaman yang benar-benar subyektif dan hanya
orang yang mengalami yang dapat menjelaskan dan mengevaluasinya (Long,
1996).
Pada pasien post operasi pasti akan mengalami nyeri disekitar
luka insisi. Hal ini diakibatkan oleh karena adanya pengeluaran/sekresi
mediator kimia (prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin,
substansi P dan lekotrein) akibat terjadiya kerusakan jaringan. Mediator
kimia ini yang akan merangsang saraf nyeri di sekitar kulit yang
terluka (serabut A-delta dan serabut C). Kemudian serabut saraf ini akan
menghantarkan nyeri sampai ke otak dan dipersepsikan.
Menurut
Myung K. Park, ada beberapa hal yang dapat terjadi pada anak yang telah
menjalani operasi BCPS, diantaranya anak akan mengalami peningkatan
saturasi oksigen yang berkisar ≥85%. Jika saturasi turun ≤70%, hal ini
dapat disebabkan karena terbukanya vena kolateral akibat dari dekompresi
aliran darah tubuh bagian atas serta terbentuknya pulmonary
arteriovenus fistula yang disebabkan oleh vasokontriksi pembuluh darah
paru akibat prostaglandin yang disekresikan oleh hati. Dikatakan bahwa
terapi aspirin berhasil untuk mencegah terbentuknya fistula tersebut.
Sebaiknya 12 bulan pasca dilakukan tindakan BCPS, klien diharuskan untuk
menjalani kateterisasi jantung untuk melihat terbentuk/tidaknya
fistula/kolateral.
Selain itu, pada anak post tindakan operasi BCPS
juga akan mengalami SVC sindrom, dimana akan terjadi penumpukan cairan
di area tubuh bagian atas, terutama area wajah, peningkatan JVP. Hal ini
disebabkan oleh karena adanya perbedaan tekanan yang cukup tinggi
antara SVC dengan PA, yang normalnya dari SVC ke RA. Keadaan ini
bersifat sementara.
JHC
Jakarta, 11 Mei 2014
Anak saya baru menjalani BCPs. Aerikel ini sangat membantu. kemarin2 masih buta apa itupcps secara terperinci dijelaskan diaini. terimakasih banyak...
BalasHapus