Minggu, 11 Mei 2014

Bidirectional Cavo Pulmonary Shunt (BCPS)

A. Konsep Bidirectional Cavo Pulmonary Shunt (BCPS)

1. Pengertian
BCPS adalah tindakan bedah paliatif yang memisahkan hubungan antara vena cava superior dengan atrium dan mengalirkannya ke kedua arteri pulmonalis. Metode ini mampu menambah aliran darah ke paru tanpa membebani ventrikel atau mengakibatkan penyakit vaskuler paru. (Bojar, 1999).
Prosedur BCPS dilakukan dengan membuat sambungan antara vena besar yaitu Superior Vein Cava (SVC) dengan right pulmonary artery sehingga darah tidak melewati ruang jantung kanan dan mengalir langsung ke arteri pulmonalis untuk dioksigenasi. Secara umum prosedur ini dilakukan ketika right ventrikel atau left ventrikel lebih kecil dari normal atau rusak sehingga tidak mampu untuk memompakan darah ke seluruh tubuh atau paru.
Pada tindakan ini, darah vena yang berasal dari kepala dan tubuh bagian atas akan dihubungkan langsung ke paru-paru dengan di bypass (dipotong) ke ventrikel kanan. Sedangkan darah vena dari tubuh bagian bawah akan diteruskan mas uk ke jantung. Prosedur BCPS merupakan operasi jantung yang dipersiapkan untuk prosedur Fontan. Operasi ini dilakukan dengan sayatan di dada, namun bukan merupakan operasi jantung terbuka (Severin’s Journey, 2004).

2. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dan manfaat dilakukannya operasi BCPS (Severin’s Journey, 2004) diantaranya :
a. Menambah aliran darah ke paru tanpa membebani ventrikel atau mengakibatkan penyakit vaskuler paru.
b. Meningkatkan saturasi oksigen arteri
c. Menurunkan kerja ventrikel sehingga tidak menyebabkan penebalan dan kekakuan pembuluh darah paru (menurunkan load single ventricel)
d. Langkah awal sebelum dilakukan operasi Fontan

 3. Indikasi
Indikasi ilakukannya operasi paliatif BCPS menurut Myung K. Park dalam Pedatric Cardiology for Practitioners diantaranya:

a. Single ventricle
Pada keadaan hanya terdapat satu ventrikel, kedua atrium akan mengalirkan darahnya melalui katup arterioventrikular hanya pada satu ventrikel saja. Ventrikel yang ada tersebut bisa kiri, kanan, ataupun mempunyai karakteristik dari keduanya. Aorta dan arteri pulmonal mendapatkan kiriman darah dari satu ventrikel tersebut. Kelainan ini biasanya diikuti dengan stenosis atau atresia pulmonal (Behrman, 1996).
Tanda dan gejala tergantung dari banyaknya kelainan jantung dan keeadaan hemodinamik pasien. Jika aliran darah ke paru terhambat, keadaan klinis akan sama atau mirip dengan tetralogi of fallot dimana akan mengalami sianosis tanpa kegagalan jantung. namun jika aliran darah ke paru tidak mengalami sumbatan, sianosis yang terjadi tidak parah/berat dan gagal jantung (Sastroasmoro, 1994).

b. Atresia tricuspid
Trikuspid atresia adalah penyakit jantung bawaan dimana tidak adanya katup trikuspid oleh kerena itu tidak ada koneksi atrioventikuler (komunikasi antara atrium kanan dan ventrikel kanan). Maka dari itu, kelangsungan hidup pasien bergantung pada adanya defek septum atrium atau foramen ovale, yang juga merupakan jalan darah dari atrium kanan ke jantung kiri. (Behrman, 1996).
Lima puluh persen pasien dengan atresia trikuspid menunjukkan gejala sianosis atau bising setelah lahir. Apabila aliran darah ke paru berkurang maka pasien tampak sianotik, makin sedikit darah ke paru makin jelas sianosisnya. Bila tidak disertai atresi pulmonal masih terdengar bising sistolik di daerah parasternal kiri. Apabila aliran darah ke paru cukup atau bertambah, maka sianosis hanya ringan, dan gejala yang menonjol adalah gagal jantung. Bila tidak terdapat defek septum ventrikel maka aliran darah ke paru didapatkan dari duktus arteriosus persisten atau arteri bronkhial. 85% pasien dengan atresia trikuspid terdiagnosis pada usia di bawah 2 bulan. Pasien dengan atresia trikuspid mempunyai resiko penutupan VSD secara spontan sehingga dapat mengakibatkan gejala sianosis yang parah (Behrman, 1996)

c. Hypoplastic left heart syndrome (Norwood : stage II)
Keadaan ini menggambarkan keadaan dimana tidak tumbuh/berkembangnya jantung bagian kiri. Ventrikel kiri berukuran kecil tidak berfungsi sehingga ventrikel kanan yang bertanggung jawab atas sirkulasi pulmonal dan sistemik. Katup aorta dan mitral mengalami atresia. Darah dari vena pulmonal akan menuju jantung kanan melalu defek atrium dan foramen ovale sehingga akan bercampur dengan darah dari vena sistemik. Jika tidak terdapat defek pada ventrikel, maka semua darah dari ventrikel kanan akan di pompakan ke arteri plmonal. Aorta desenden mendapatkan suplai darah dari duktus arterious, aliran ini juga akan mengisi aorta asenden dan arteri koronari (Behrman, 1996).
Walaupun sianosis tidak selalu nampak pada 48 jam pertama setelah kelahiran, tetapi warna biru pada tubuh dapat terlihat. Kebanyakan bayi terdiagnosa pada beberapa jam atau beberapa hari setelah lahir. Jika duktus arterious sebagian tertutup, Gejala dari hipoperfusi sistemik dan shock mulai terlihat. Gejala gagal jantung kongestif dapat terlihat pada minggu pertama kelahiran, disertai dipsneu, hepatomegali dan penurunan kardiak output. Biasanya pulsasi perifer sangat lemah bahkan tidak ada. Saat dilakukan auskultasi, terdengar murmur sistolik (Behrman, 1996).

d. Pulmonary atresia with intak seftal ventrikel
Pulmonary atresia adalah cacat bawaan sejak lahir yang terjadi akibat perkembangan abnormal dari jantung janin selama delapan minggu pertama. Pulmonary atresia merupakan penyakit jantung bawaan dengan malformasi pulmonary artery valve dimana katub gagal untuk mengembang sehingga menghalangi aliran darah dari jantung ke paru (Behrman, 1996).
Karena terdapat atresia pulmonal dan tidak terdapat defek septum ventrikel, maka darah dari ventrikel kanan tidak dapat keluar. Dari atrium kanan darah menuju ke atrium kiri melalui defek septum atrium atau foramen ovale. Satu-satunya jalan darah ke paru adalah melalui duktus arteriosus atau sirkulasi bronkhial. Biasanya terdapat insufisiensi trikuspid.
Sianosis telah jelas tampak pada waktu bayi lahir yang terus bertambah pada hari-hari pertama bahkan kebanyakan meninggal dalam waktu satu minggu setelah kelahiran. Bayi sesak dengan gejala gagal jantung. Pada auskultasi suara jantung dua (S2) terdengar tunggal dan pelan, biasanya tidak terdapat murmur. Continous murmur atau sistolik murmur bisa terdengar pada aliran darah pada duktus (Behrman, 1996).

B. Asuhan Keperawatan

1. Pre Operasi (BCPS)
a. Pengkajian
1) Identitas
Data identitas klien sangat penting untuk diketahui sebagai data dasar klien sebelum kita melakukan pemeriksaan. Data ini pula dapat dipakai oleh perawat dalam melakukan intervensi keperawatan kepada klien. Yang termasuk di dalam identitas klien diantaranya nama, jenis kelamin, usia & tempat tanggal lahir, alamat, nomor medrek.

2) Keluhan Utama
Keluhan utama pada penyakit jantung bawaan diantarnya yang paling sering adalah klien mengeluhkan sesak nafas, cepat lelah, kebiruan pada daerah perifer atau mukosa, gagal tumbuh dan sering mengalami batuk pilek berulang.

3) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada penyakit trikuspid atresia, pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah pengkajian sianosis, dengan atau tanpa clubbing, getaran sistolik jarang teraba pada pulmonal stenosis, suara jantung S2 normal, terdengan murmur holosistolik jika terdapat atresia trikuspid dengan VSD. Sedangkan murmur kontinus terdengar bila trikuspid atresia disertai dengan PDA. Selain itu pemeriksaan yang harus dilakukan adalah adanya hepatomegali bila kumonikasi interatrial tidak adekuat (Myung K. Park, 2008).
Pemeriksaan fisik untuk pulmonal atresia dengan infact ventricular septum diantaranya, adanya sianosis berat dan takipnea biasanya terjadi pada distress neonates, suara jantung (S2 normal atau biasanya tidak ada), murmur terdengar pelan pada trikuspid regurgitasi, dan murmur kontinu dapat terdengar bila terdapat PDA, dan kaji jiga adanya hepatomegali bila komunikasi interatrial tidak adekuat (Myung K. Park, 2008).
Pada HLHS (hypoplastic left heart syndrome), gejala akan nampak beberapa jam setelah bayi lahir, yaitu adanya takikardi, dispnea, suara paru krakels, nadi perifer teraba lemah, dan vasokonstriksi pada ekstremitas, pada pasien HLHS tidak tampak adanya cianosis berat, tetapi tampak biru keabu-abuan akibat perfusi ke jaringan yang tidak baik. Selain itu pada HLHS terdengar suara S2 normal dank jelas, murmur tidak terdengar, murmur ejeksi fraksi sistolik terdengar nonspesifik di atas prekordium, dan adanya gejala pada CHF, yaitu adanya hepatomegali dan terdengar gallop (Myung K. Park, 2008).
Pada kelainan single ventricle, terdapat peningkatan aliran darah ke paru, hal tersebut biasanya juga ditemukan pada kelainan TGA dan VSD besar dengan gejala, sianosis ringan dan CHF, serta keterlambatan tumbuh kembang yang muncul pada bayi baru lahir. Suara jantung S2 terdengar normal, murmur sistolik terdengar di parasternal kiri, dan suara S3 di bagian apeks. Murmur diastolic paada pulmonal regurgitasi terdengar di parasternal kiri atas akibat dari pulmonal hipertensi. Pada kelainan single ventricle, juga terdapat peurunan aliran darah ke paru, hal tersebut biasanya juga ditemukan pada kelainan TOF.sianosis tampak sdang sampai berat, CHF tidak tampak, clubbing finger
 
mungkin terlihat pada bayi dan anak-anak. Bunyi jantung S2 terdengar normal dan jelas, grade 2 sampai 4/6 murmur ejeksi sistolik dapat terdengar di kanan atas atau parasternal kiri (Myung K. Park, 2008).

4) Riwayat kesehatan Dahulu
Pada kelainan trikuspid atresia tanyakan adanya sianosis berat sejak lahir, takipneau, sedikit makan/minum, riwayat spell hipoksia pada bayi baru lahir (Myung K. Park, 2008).
Pada kelainan HLHS (hypoplastic left heart syndrome) edema pulmonal dan CHF berkembang pada minggu pertama kelahiran, shock sirkulasi dan hipoksemia serta asidosis dapat menyebabkan kematian pada bulan pertama kelahiran (Myung K. Park, 2008).
Pada pulmonal atresia kaji riawyat sianosis berat sejak kelahiran (Myung K. Park, 2008).
Pada kelainan single ventrikel, tanyakan riwayat sianosis dengan derajat yang berbeda sejak lahir, riwayat gangguan tumbuh kembang atau pnemounia pada bayi baru lahir dengan peningkatan aliran darah ke paru (Myung K. Park, 2008).

5) Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Pada penyakit jantung bawaaan, sangat erat kaitannya dengan riwayat kehamilan terutama pada trimester pertama yaitu dimana pembentukan jantung mulai pada minggu ke-empat (Behrman, 1996). Perlu kita kaji bagaiamna proses kehamilan pada trimester pertama, apakah pada saat hamil ibu klien mengalami penyakit infeksi, mempunyai kebiasaan minum minuman keras, atau pernah/sering mengkonsumsi obat-obatan/jamu. Penting juga mengkaji bagaimana riwayat kelahiran bayi, apakah normal atau tidak, apakah setelah lahir bayi langsung menangis atau tidak, apakah tanda kebiruan pada bayi ada sejak bayi lahir atau setelah beberapa hari/bulan baru muncul, bagaimana keadaan fisik bayi, adakah kelainan bawaan lain, berapa berat badan klien saat lahir.

6) Riwayat Kesehatan Keluarga
Dikaji terutama kondisi kesehatan ibu dari klien. Apakah ibu kilen menderita penyakit jantung bawaan saat masih kecil, apakah menderita diabetes mellitus, berapa umur ibu saat hamil. Selain itu kaji juga apakah ada anak yang sebelmunya menderita penyakit jantung bawaan, apakah ayah dari klien juga pernah mengalami penyakit jantung bawaan.

7) Riwayat Psikososiospiritual
Kaji bagaimana riwayat psikologis, sosial, dan spiritulal klien (jika memungkinkan) juga keluarga klien. Apakah dengan sakitnya, klien ataupun keluarga mengalami gangguan psikososiospiritual.

8) Riwayat Tumbuh Kembang
Pada penyakit jantung bawaan, kebanyakan anak akan mengalami gangguan tumbuh kembang. Keadaan ini dapat dikaji dengan menggunakan alat skrining perkembangan salah satunya dengan metode Denver.

9) Pola ADL
Kaji aktivitas harian klien meliputi pola makan & minum, eliminasi, istirahat & tidur, ativitas bermain.

b. Pemeriksaan Fisik
1) Antropometri
Ukur berat dan tinggi badan. Sesuaikah ukuran tersebut dengan usia klien. Berat badan dan tinggi badan juga akan berpengaruh pada pemberian nutrisi dan obat-obatan
2) Tanda-tanda vital
Ukur tanda-tanda vital, diantaranya heart rate, respirasi rate, temperature, tekanan darah, saturasi oksigen, nyeri jika ada. Hal ini sangat penting apalagi pada klien dengan gangguan jantung. perubahan tanda-tanda vital tersebut dapat menggambarkan hemodinamik klien dimana hal ini sangat berkaitan erat dengan keadaan jantung dan paru klien.

c. Pemeriksaan Diagnostik
1) Elektrokardiogram (EKG)
Elektrokardiogram merupakan suatu grafik yang menggambarkan aktivitas listrik jantung. Pada klien dengan kelain jantung tricuspid atresia, gambaran EKG menunjukkan deviasi sumbu ke kiri (left axis deviation) dengan hipertrofi ventrikel kiri. Kombinasi left axis deviation dan sianosis merupakan gejala khusus pada atresia trikuspid. Selain itu juga terdapat pembesaran atrium kanan (P mitral) (Behrman, 1996).
Pada klien dengan single ventrikel EKG tidak dapat menggambarkan adanya kelaianan ini secara spesifik. Namun biasanya bisa terlihat hipertropi ventrikel (Behrman, 1996).
Pada klien dengan HLHS dapat memperlihatkan hanya didominasi ventrikel kanan, gelombang P menjadi prominen dan biasanya terdapat hipertropi ventrikel kanan (Behrman, 1996).
Pada klien dengan pulmonal atresia, QRS axis normal, tampak pembesaran ventrikel kiri, pembesaran ventrikel kanan pada bayi baru lahir, pada 70% kasus umumnya terjadi pembesaran atrium kanan (Behrman, 1996).

2) Ekokardiogram
Ekokardiogram merupakan pemeriksaan non invasive dengan menggunakan ultrasound untuki menilai struktur anatomi jantung dan pembuluh darah jantung, fungsi serta hemodinamiknya (Behrman, 1996).
Pada klien dengan atresia tricuspid ekokardiografi 2-dimensi menunjukkan katup trikuspid atretik. Ventrikel kanan kecil atau sama sekali tidak ada, sedangkan katup mitral normal dengan annulus yang terdialatasi. Ventrikel kiri besar dengan dinding yang menebal (Behrman, 1996).
Pada klien dengan single ventrikel, pemeriksaan ekokardiografi dapat terlihat adanya satu ventrikel, apakah hanya ventrikel kanan saja atau kiri saja atau morfologinya mirip keduanya. Juga bisa terdeteksi arah aliran darah dari ventrikel tersebut (Behrman, 1996).
Pada klien dengan HLHS ekokardiogram dapat memperlihatkan atresia atau hipoplasia katup mitral dan aortic, ukuran atrium dan ventrikel kiri (kecil), ukuran atrium dan ventrikel kanan (besar), dan mengidentifikasi katup trikuspid. Pemeriksaan dengan menggunakan dopler memperlihatkan adanya aliran retrograt yang berasal dari duktus arterious (Behrman, 1996).
Pada klien dengan pulmonal atresia dapat ditemukan a) penebalan, stenosis, dan tanpa adanya aliran darah ke paru mealui katup pulmonal, b) hipertrofi venrtikel kanan, c) pengecilan katup trikuspid, d) terjadinya right to left shunt melalui ASD, e) adanya aliran darah pada ductus arteriosus dari arcu aorta ke pulmonal arteri (Behrman, 1996).

3) Chest x-ray
Pada klien dengan tricuspid atresia jantung biasanya normal, namun apeks tidak terangkat dan batas jantung kiri agak persegi (square shape). Bayangan jantung di kanan bawah paravertebra nampak kurang. Corakan vaskular paru menurun kecuali bila terdapat defek septum ventrikel besar (Behrman, 1996).
Pada klien dengan single ventrikel, gambaran rongen menunjukan pembesaran jantung. Pada kasus yang disertai stenosis pulmonal maka terlihat adanya penurunan vaskularisasi paru sedangkan pada kasus tanpa stenosis pulmonal menunjukkan peningkatan vaskularisasi paru (Behrman, 1996).
Pada klien dengan HLHS, rongen dada dapat memperlihatkan peningkatan vaskularisasi paru dan pembesaran jantung (Behrman, 1996).
Pada klien dengan pulmonal atresia, ukuran jantung dapat terlihat normal atau membesar akibat pembesaran atrium kanan, penurunan aliran darah ke paru yang ditandai dengan gambaran ruang paru yang gelap, MPA tampak cekung (Behrman, 1996).

4) Hematologic:  PT, PTT, platelet count (elevated PT and PTT are common in cyanotic children)

5) Chemistry: electrolytes, BUN, creatinine, glucose, calcium (in neonates), drug levels (e.g., digoxin)

6) Urinalysis

7) Kateterisasi jantung dan angiografi diperlukan untuk memastikan anatomi dan ukuran arteri pulmonalis. Ventrikel kanan tidak dapat dicapai kateter, dan kateter mudah masuk dari atrium kanan ke atrium dan ventrikel kiri. Pada penyuntikan kontras di atrium kanan maka seluruh kontras tersebut masuk ke atrium kiri, kemudian ke ventrikel kiri. Dari ventrikel kiri ini kontras melalui defek septum ventrikel ke ventrikel kanan, kemudian ke arteri pulmonalis (Behrman, 1996).

2. Post Operasi (BCPS)
a. Pengkajian
1) Identitas : nama, jenis kelamin, usia, alamat, NRM, diagnosa dan pekerjaan ( untuk pasien dewasa)

2) Keluhan Utama
Pasien post operasi akan berada dibawah pengaruh sedasi sehingga mengalami penurunan kesadaran

3) Riwayat Penyakit Sekarang
Dalam tahap ini dijelaskan kondisi pasien secara garis besar mulai dari awal dioperasi sampai dipindahkan di ruang ICU

4) Pola ADL
Setelah pasien datang dari ruang operasi kaji aktivitas harian klien meliputi pola makan&minum, eliminasi, istirahat& tidur, ativitas bermain (pasien sadar)

b. Pemeriksaan Fisik
1) Sistem Pernafasan
Pengkajian terhadap status respirasi bertujuan untuk mengetahui secara dini tanda dan gejala tidak adekuatnya ventilasi dan oksigenasi. Perawat mengkaji status respirasi pasien selama operasi, ukuran endotrakeal tube, masalah yang dihadapi selama intubasi, lama penggunaan alat mesin jantung paru. Selanjutnya kaji gerakan dada, suara nafas, setting ventilator (frekuensi, volume tidal, konsentrasi oksigen, Mode, PEEP), kecepatan nafas, tekanan ventilator, saturasi oksigen, AGD.

2) Sistem Cardiovaskuler
Meliputi frekuensi dan irama jantung, tekanan darah arteri, tekanan vena sentral (CVP), tekanan arteri paru, tekanan balik paru (PCWP), bentuk gelombang pada tekanan darah invasive, curah jantung dan cardiac index, drainase rongga dada, fungsi pacemaker. Selain itu, diperlukan pemantauan pengeluaran semua selang drainase, parameter curah jantung, dan indikasi ketidakseimbangan elektrolit. Karena pada pasien post operasi akan terpasang selang drainase untuk mengetahui terjadinya perdarahan. Pantau adanya tanda-tanda SVC syndrom dan pemantauan intake dan output (pasien post operasi dengan on CPB akan dibatasi jumlah cairann perhari)

3) Sistem Neurologis
Tingkat responsifitas, ukuran pupil dan reaksi terhadap cahaya, reflex, gerakan ekstremitas, dan kekuatan genggaman tangan. Selain itu kita gunakan pengkajian dengan sedasion score, kita bisa mengobservasi lewat ekspresi wajah dan gerak pasien.

4) Sistem Genitourinari
Pasien post operasi biasanya terpasang kateter urine untuk monitoring pengeluaran urine, berat jenis urine, dan osmolalitas penting untuk dilakukan pengkajian dan pemantauan secara terus menerus karena berkaitan dengan sirkulasi darah keseluruh organ ditubuh apakah berfungsi dengan baik. Selain itu kita observasi tanda-tanda infeksi.

5) Sistem Gastrointestinal
Terpasang OGT/NGT dan pada sistem ini perlu dikaji bagaimana bising usus, palpasi abdomen, nyeri pada saat palpasi dan untuk mengetahui kemampuan sistem pencernaan dalam menyerap asupan nutrisi yang akan diberikan.

Post Operasi BCPS
a. Darah masih bercampur dan level saturasi oksigen masih rendah (±85%), tapi lebih baik dibandingkan pada pre-operasi (Myung K. Park, 2008).
b. Kongesti vena (tekanan SVC meningkat); pada leher, wajah, dan bagiat atas tubuh pasien terlihat bengkak dan sedikit memar selama beberapa hari, dapat iritasi untuk sementara waktu sampai tubuhnya mendapat sirkulasi baru.
c. Bersifat sementara
d. Diuretik digunakan untuk mengurangi efek
e. Kepala tempat tidur bayi ditinggikan sehingga gravitasi akan membantu mengalirkan darah ke paru-paru

Data Fokus
a. Saturasi oksigen
Pada pasien BCPS akan mengalami peningkatan saturasi oksigen yang berkisar ≥85%. Apabila saturasi turun ≤70%, hal ini dapat disebabkan karena terbukanya vena kolateral akibat dari dekompresi aliran darah tubuh bagian atas serta terbentuknya pulmonary arteriovenus fistula yang disebabkan oleh vasokontriksi pembuluh darah paru akibat prostaglandin yang disekresikan oleh hati. Dikatakan bahwa terapi aspirin berhasil untuk mencegah terbentuknya fistula tersebut. Sebaiknya 12 bulan pasca dilakukan tindakan BCPS, klien diharuskan untuk menjalani kateterisasi jantung untuk melihat terbentuk/tidaknya fistula/kolateral (Myung K. Park).

b. Oedema
Oedema diartikan sebagai akumulasi cairan di dalam ruang interstisial yang menimbulkan tekanan positif. Oedema dapat timbul karena peningkatan tekanan dalam kapiler, penurunan tekanan oncotic dalam kapiler, peningkatan tekanan oncitic di dalam interstisium (Long, 1996).
Biasanya pada pasien BCPS harusnya tidak terjadi edema di bagian tubuh bagian atas, akan tetapi ada periode dimana akan terjadi penumpukan cairan di area tubuh bagian atas atau lebih dikenal dengan SVC Syndrome. Hal ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan tekanan yang cukup tinggi antara SVC dengan PA, yang normalnya dari SVC ke RA. Keadaan ini hanya bersifat sementara sebagai respon adaptasi tubuh pasien.
Hal ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan yang cukup tinggi antara SVC dengan PA, yang normalnya dari SVC ke RA.

c. Nyeri
Nyeri adalah perasaan yang tidak nyaman yang benar-benar subyektif dan hanya orang yang mengalami yang dapat menjelaskan dan mengevaluasinya (Long, 1996).
Pada pasien post operasi pasti akan mengalami nyeri disekitar luka insisi. Hal ini diakibatkan oleh karena adanya pengeluaran/sekresi mediator kimia (prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin, substansi P dan lekotrein) akibat terjadiya kerusakan jaringan. Mediator kimia ini yang akan merangsang saraf nyeri di sekitar kulit yang terluka (serabut A-delta dan serabut C). Kemudian serabut saraf ini akan menghantarkan nyeri sampai ke otak dan dipersepsikan.

Menurut Myung K. Park, ada beberapa hal yang dapat terjadi pada anak yang telah menjalani operasi BCPS, diantaranya anak akan mengalami peningkatan saturasi oksigen yang berkisar ≥85%. Jika saturasi turun ≤70%, hal ini dapat disebabkan karena terbukanya vena kolateral akibat dari dekompresi aliran darah tubuh bagian atas serta terbentuknya pulmonary arteriovenus fistula yang disebabkan oleh vasokontriksi pembuluh darah paru akibat prostaglandin yang disekresikan oleh hati. Dikatakan bahwa terapi aspirin berhasil untuk mencegah terbentuknya fistula tersebut. Sebaiknya 12 bulan pasca dilakukan tindakan BCPS, klien diharuskan untuk menjalani kateterisasi jantung untuk melihat terbentuk/tidaknya fistula/kolateral.
Selain itu, pada anak post tindakan operasi BCPS juga akan mengalami SVC sindrom, dimana akan terjadi penumpukan cairan di area tubuh bagian atas, terutama area wajah, peningkatan JVP. Hal ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan tekanan yang cukup tinggi antara SVC dengan PA, yang normalnya dari SVC ke RA. Keadaan ini bersifat sementara.

JHC
Jakarta, 11 Mei 2014

1 komentar:

  1. Anak saya baru menjalani BCPs. Aerikel ini sangat membantu. kemarin2 masih buta apa itupcps secara terperinci dijelaskan diaini. terimakasih banyak...

    BalasHapus